KOMPAS/BAMBANG SIGAP SUMANTRI--Desapolitan Jomboran, Kecamatan Klaten Tengah, Klaten, Jawa Tengah
Hamparan luas sawah menghijau menjelang masuk halaman Kantor Kepala Desa Jomboran, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Di tengah sawah, tulisan kapital tampak menonjol, DESAPOLITAN JOMBORAN.
Pak Kenthut (47), penjual rujak yang mangkal di perempatan sawah, mengatakan, desapolitan itu desa yang mempunyai bermacam-macam obyek wisata. Darwis (51), petani yang sedang angon bebek, juga tidak bisa banyak memberikan penjelasan. ”Yang tahu soal desapolitan itu orang pintar-pintar. Kalau saya, kan, bodoh,” katanya.
Beberapa waktu lalu, Kenthut pernah melihat sejumlah anak berkumpul di sawah mendapat penjelasan dari petani tentang pengolahan tanaman padi dan cara kerja traktor.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Oktober tahun lalu, meresmikan kawasan desapolitan itu di Jomboran. Setelah meresmikan desapolitan, Eko juga meresmikan obyek wisata Bukit Patrum di Desa Krakitan, Klaten, serta membuka sarasehan ”Kawasan Desapolitan dan Desa Wisata Inovatif Berbasis BUMDes” di Desa Jimbung. Hari itu, secara faktual, Eko sudah langsung mengunjungi tiga desa yang menggabungkan diri dengan nama desapolitan. Tentu saja, penggabungan ini bukan secara politik dan pemerintahan, melainkan sebagai upaya bergotong royong meningkatkan kekuatan yang dimiliki masing-masing desa.
Kabupaten Klaten memiliki desa yang fenomenal bernama Ponggok di Kecamatan Polanharjo. Tahun lalu, desa tersebut terpilih sebagai desa wisata terbaik di Indonesia dengan kategori pemberdayaan masyarakat. Mereka mempunyai obyek wisaya unggulan Umbul Ponggok yang mampu menghasilkan pendapatan Rp 500 juta per bulan dari hasil penjualan tiket dan penyewaam peranti selam air dangkal (snorkeling).
”Ponggok memang bagus, tetapi mengapa mereka tidak bisa menularkan ilmunya kepada desa sekitarnya yang juga mempunyai umbul air?” kata Kepala Desa Jomboran Agung Widodo ketika ditemui sambil makan bakmi di belakang kantornya. Karena itu, ia menyambut gembira, walaupun masih pesimistis, ketika konseptor desapolitan, Suratman, Guru Besar Universitas Gadjah Mada, mengajak untuk bergabung dengan dua desa yang lain.
Pertama mendengar kata desapolitan, Agung merasa asing. ”Biasanya yang saya dengar itu metropolitan. Pak Suratman mengenalkan istilah desapolitan, kami diminta seperti kota dalam metropolitan itu supaya lebih dinamis,” ujarnya. Potensi wisata yang dimiliki Jomboran hanya berupa hamparan sawah.
”Kondisi riil yang kami miliki cukup berat. Saya sendiri sempat pesimistis, tetapi terus didorong dan diberi motivasi oleh kawan-kawan dari UGM agar optimistis,” kata Agung. Meski berdekatan secara fisik, ketiga desa itu ternyata mempunyai kecamatan berbeda. Jomboran berada di bawah Kecamatan Klaten Tengah, Jimbung ada di Kecamatan Kalikotes, dan Krakitan di Kecamatan Bayat. ”Ini hal baru karena kami harus melakukan koordinasi desa yang mempunyai atasan kecamatan berbeda,” tambah Agung.
Di persawahan Jomboran kini berdiri 15 gubuk baru. Melalui gubuk itu, petani bisa istirahat sekaligus juga untuk menarik wisatawan. ”Gubuk sempat menimbulkan persoalan juga karena ada yang memakai sampai malam hari. Kini, saya antisipasi dengan patroli,” ujar Agung.
Pendekatan sosial
Direktur BUMDes Bodronoyo Jomboran Agus Wibowo mengungkapkan, pihaknya sedang menata organisasi dan menyiapkan sawah yang menjadi obyek wisata. Selain itu, di dekat kantor kepala desa kini sudah dibangun taman kuliner yang akan diisi berbagai makanan ala desa. ”Kami sedang menyiapkan ibu-ibu di desa ini untuk bisa menyajikan makanan desa, misalnya sega wiwitan, nasi yang dimakan sebelum masa tanam,” katanya sambil menunjukkan gazebo di taman kuliner.
Menurut Suratman, hamparan sawah di Jomboran tetap bisa menjadi daya tarik tersendiri asal dikemas secara inovatif.
”Sawah tadinya hanya untuk kultivasi padi, sekarang bisa kultivasi turisme, jualan kultivisme untuk outbound sawah, kuliner di persawahan tidak hanya jajan, tetapi melihat proses masaknya, diajari masak, sampai akhirnya makan dan beli suvenir,” paparnya. Guru Besar Fakultas Geografi UGM itu menambahkan, penggarapan obyek wisata sebaiknya dari hulu ke hilir.
Jomboran bergerak cepat. Akhir tahun lalu, mereka mengadakan Festival Onthel Klaten. Acara itu digelar untuk mengenalkan wilayahnya sebagai desapolitan. Selama bersepeda, peserta disuguhi kehidupan desa dan persawahan yang menghijau. Menurut Agus, kegiatan itu diikuti 12 komunitas sepeda dengan total peserta 500 orang.
Desa Jimbung mempunyai ikon wisata yang sudah jadi. Namanya Sendang Bulus Jimbung yang ramai dikunjungi orang. Tinggal pengemasan dan promosi digencarkan. Desa Krakitan mempunyai wisata warung apung yang terkenal, Rowo Jombor, dan banyak dikunjungi wisatawan, tetapi pemiliknya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sehingga pendapatan yang mengalir ke Krakitan tidak besar.
Operasionalisasi konsep desapolitan terwujud dalam persawahan Jomboran yang sudah resmi diluncurkan dan juga obyek wisata Photorium Bukit Patrum di Desa Krakitan. ”Saya tidak suka dengan istilah ’selfi’ sehingga memilih istilah Photorium; memang tempat untuk berfoto. Di tempat itu juga ada penjelasan asal-usul tempat yang bekas tambang. Lahan rusak, tidak produktif bisa diubah menjadi tempat yang menarik. Walau baru sentuhan awal, Photorium itu sudah laku dikunjungi banyak orang,” kata Suratman.
Melalui desapolitan, potensi sejumlah desa bisa lebih cepat dikembangkan. Desapolitan merupakan suatu kawasan desa unggul. Kalau pengembangan hanya bertumpu pada satu desa, hasilnya lama. ”Kalau kawasan yang tumbuh itu namanya teori ngremboko (berkembang),” katanya.
Agar desapolitan tidak menjadi ajang yang saling mematikan, ujar Suratman, sejak awal harus ada pendekatan sosial. Intinya orang yang bergotong royong akan menjadi kokoh. Jangan bersaing, sebaiknya berkolaborasi.
Desa Jomboran mempunyai hamparan sawah, Jimbung mempunyai air sendang bulus, dan Krakitan mempunyai bukit kapur. Tiga desa yang berdekatan itu mempunyai potensi berbeda-beda. Kalau disatukan dengan manajemen dan inovasi yang berkelanjutan, akan tumbuh lebih cepat.--BAMBANG SIGAP SUMANTRI
Sumber: Kompas, 11 April 2018
No comments:
Post a Comment