Tuesday, July 7, 2020

Keruwetan Data di Desa

Kenyataan saat ini pemerintah desa tak punya komandan karena komandannya banyak sekali. Maka dapat dipahami jika dampaknya tata kelola pemerintahan desa ruwet dan karut- marut dan salah satu wujudnya sistem pendataan.

”Bansos Ruwet karena Data”, demikian berita utama Kompas, 4 Juni lalu. Disebutkan, akibat ketidakakuratan data, bantuan sosial (bansos) dari Kementerian Sosial dan bantuan langsung tunai dari Kementerian Desa PDTT tak tepat sasaran.


Fenomena tersebut jika dilihat dari manajemen pemerintahan, akar masalahnya terletak pada dua hal: 1) status pemerintahan desa itu sendiri, dan 2) hubungan pusat-provinsi-kabupaten/kota-desa.

Pertama, untuk status pemerintahan desa di bawah UU No 6/2014, ahli hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Rosjidi Ranggawidjaja (2013), menyebutnya pemerintahan bayang-bayang. Guru Besar IPDN Sadu Wasistiono (2017) menyebutnya pemerintahan kuasi. Saya sendiri menyebutnya pemerintahan semu.

Schmmitter (1974) menyebutnya satuan korporatisme negara (state corporatism). Argumennya, pemerintah desa bukan pemerintahan sebenarnya, karena kepala desanya bukan pejabat pemerintah (government official) dan perangkat desanya bukan aparatur sipil negara (public servant). Ia hanya organisasi sosial politik bentukan negara yang diberi tugas pemerintahan.

Pemerintah desa di bawah UU No 6/2014 berasal dari organisasi sosial politik zaman penjajahan Belanda yang diatur dalam IGO 1906 dengan sebutan gemente pribumi (inlandsche gemeente).

Angelino (1931) menjelaskan, gemente pribumi merupakan pemerintahan tidak langsung (indirect rule) karena bukan bagian dari departemen pemerintahan dalam negeri (departement van binnenlands bestuur). Ia berada di luarnya, tetapi di bawah kontrol pejabat pemerintah terbawah: onder district hoofd/asisten wedana. Fungsinya hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat.

Ketika Jepang menggantikan Belanda, gemente pribumi diubah menjadi ku (Osamu Seirei No 27/1942). Struktur organisasinya diubah dan ditambah dengan lembaga kemasyarakatan baru yaitu tonarigumi (RT), aza (RW), heiho (hansip), keibodan (linmas), fujingkai (PKK), dan seinendan (karang taruna). Fungsinya diperluas: tak hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat, tetapi juga alat memobilisasi penduduk untuk memenangi perang Asia Timur Raya.

Rezim Orde Baru melalui UU No 5/1979 menjiplak mentah- mentah pemerintah ku zaman Jepang ini dengan mengubah nomenklatur: dari ku menjadi pemerintahan desa. Fungsinya sebagai pelaksana kebijakan pusat dan instrumen memobilisasi penduduk untuk pembangunan desa. Pemerintahan ini diteruskan sampai sekarang (UU No 6/2014).

Pemerintahan bentuk ini tidak mempunya kapasitas dan kapabilitas menyelenggarakan urusan pemerintahan yang birokratis dan teknokratis karena tidak diselenggarakan oleh aparatur birokrasi profesional.

Semi terputus
Kedua, hubungan pusat-provinsi-kabupaten/kota adalah hubungan semi terputus sedangkan hubungan pusat-provinsi-kabupaten/kota dengan desa hubungan pemerintahan tak langsung (indirect rule). Hubungan pusat-provinsi-kabupaten/kota semi terputus karena pemerintah pusat tak punya wakil pemerintah pusat yang berasal dari pejabat pamong praja yang ditempatkan di provinsi dan kabupaten/kota.

Sebagaimana di Perancis dan Belanda, pemerintah pusat punya komisaris/prefet yang memiliki tiga tugas: 1) mengawasi pemerintahan daerah; 2) mengintegrasikan pusat-provinsi-kabupaten/kota-desa dalam satu hierarki; dan 3) mengkoordina -sikan semua instansi vertikal yang beroperasi di wilayahnya. Komisaris/prefet diangkat oleh pemerintah pusat dari pejabat tinggi Kemendagri.

Dalam desain UU No 23/ 2014 ada pejabat yang difungsikan sebagai komisaris/prefet yaitu gubernur dan bupati/wali kota. Namun, pengaturan demikian tak efektif karena gubernur dan bupati/wali kota adalah kepala daerah otonom pilihan rakyat yang berasal parpol yang berbeda-beda. Sebagai pejabat politik pilihan rakyat, gubernur dan bupati/wali kota yang berasal dari parpol lebih dominan sebagai alat daerah otonom daripada sebagai alat pemerintah pusat.

Lagi pula gubernur dan bupati/wali kota sebagai kepala daerah otonom jadi rancu ketika juga diberi tugas mengawasi pemerintahan daerahnya sendiri. Ini “jeruk makan jeruk”: kepala daerah mengawasi pemerintahan daerah yang kepalanya dia sendiri. Dalam keadaan demikian gubernur dan bupati/wali kota juga tak bisa powerfull sebagai koordinator semua instansi vertikal yang beroperasi di wilayahnya.

Akibatnya, kepala-kepala instansi vertikal di wilayahnya bisa main selonong melaksanakan kebijakan dan proyek atasannya dalam wilayah provinsi dan kabupaten/kota bahkan langsung selonong ke desa tanpa di bawah koordinasi gubernur dan bupati/wali kota. Terjadilah karut-marut penyelenggaraan pemerintahan di provinsi, kabupaten/kota, dan desa karena tiadanya satu garis komando hierarkis dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa (presiden, gubernur, bupati/wali kota, kepala desa).

Dalam konteks inilah terjadi hubungan semi terputus antara pusat-provinsi-kabupaten/kota karena terdapat kerancuan filosofis dan saintis dalam hierarki birokrasi pusat-provinsi-kabupaten/kota. Hubungan pusat-provinsi-kabupaten/kota dengan desa adalah hubungan pemerintahan tak langsung (indirect rule). UU No 6/2014 masih menganut stelsel IGO 1906 yaitu menempatkan pemerintah desa di luar sistem pemerintahan dalam negeri.

Pemerintah desa adalah badan hukum sosial politik yang berdiri sendiri. Sebelum 2014 pemerintah desa di bawah pembinaan Kemendagri (1800-2013), tapi sejak 2014 sampai sekarang di bawah pembinaan Kementerian Desa PDTT dan Kemendagri yang terus berseteru.

Masukkan ke sistem
Dalam praktiknya Kemendagri sebagai induk pemerintahan sudah tak berwibawa karena pemerintah desa lebih banyak dikendalikan Kementerian Desa PDTT yang memegang uang. Di samping itu, semua kementerian dan lembaga pusat bisa main selonong menjatuhkan proyeknya di desa. Kementerian Desa PDTT, Kemensos, Kemenaker, Kementan, BPS, KPU, BKKBN, dan lain-lain bisa langsung nyelonong ke desa.

Misal, proyek Dana Desa, BLT, PKH, dan BLTN diputuskan oleh Kemendes PDTT dan Kemensos di Jakarta kemudian dua kementerian ini langsung potong kompas memobilisasi dan mengontrol kepala desa untuk melaksanakan. Begitu juga dengan proyek bantuan pupuk dari Kementan, proyek pelatihan tenaga kerja dari Kemenaker, proyek pendaftaran pemilih dari KPU, proyek sensus penduduk dari BPS, dan lain-lain. Pemerintah kabupaten/kota hanya melakukan pengawasaan dan koordinasi.

Jadi, manajemen pemerintahan desa tak diselenggarakan dengan sistem manajemen yang terstruktur, hierarkis, sistemik, dan terintegrasi di bawah komando dan kontrol presiden, gubernur, dan bupati/wali kota. Pemerintah desa dicabik-cabik, dipotong kompas, dan diintervensi oleh banyak kementerian sektoral. Kementerian induk dan cabang-cabangnya (Kemendargi, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota) bukan sebagai komandannya tapi hanya penonton aktif.

Akibatnya pemerintah desa tak punya komandan karena komandannya banyak sekali. Dampaknya, tata kelola pemerintahan desa ruwet dan karut- marut. Demi tertib sistem pemerintahan dan kepatuhan terhadap UUD NRI 1945, sudah waktunya pemerintah desa dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal, tidak ditaruh di luar sistem seperti sekarang ala stelsel IGO 1906.

Berdasarkan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 pemerintah desa dijadikan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena mempunyai susunan asli. Hal ini sesuai rancangan founding fathers: Muhammad Yamin, Soepomo, Muhammad Hatta, dan Soetardjo Kardohadikoesoemo. Dengan demikian pemerintah desa jadi subsistem pemerintahan nasional sebagai bagian dari local self-government formal di dalam naungan NKRI.

Hanif Nurcholis, Guru Besar Universitas Terbuka dan Ketua Dewan Pakar Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara.

Sumber: Kompas, 7 Juli 2020

No comments:

Post a Comment