Tuesday, July 7, 2020

Satu Data Perlindungan Sosial

Membangun dan mengelola data terpadu ibarat orkestrasi yang butuh kerja sama antar-jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Orkestra yang indah akan terwujud, jika semua pihak berperan baik.

Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah memperluas cakupan dan jenis bantuan sosial (bansos). Bukan hanya bansos reguler, sejum- lah bansos non-reguler disalurkan bagi keluarga terdampak pandemi Covid-19. Melalui program bansos non-reguler, pemerintah ingin mendukung daya beli masyarakat, menekan tambahan kemiskinan baru, sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi.


Jenisnya, mulai dari bansos sembako Jabodetabek dan bansos tunai di luar Jabodetabek senilai Rp 39,2 triliun hingga bantuan langsung tunai (BLT) dana desa bernilai hampir Rp 32 triliun. Belum lagi subsidi listrik sebesar Rp 62 triliun. Di saat bersamaan, pemerintah juga menyalurkan bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp 37 triliun, menyasar 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Sedangkan bansos kartu sembako, sebagai transformasi bantuan pangan nontunai (BPNT), anggarannya mencapai Rp 43,6 triliun untuk 20 juta KPM.

Namun harus diakui, penyaluran bansos non-reguler masih terkendala akurasi data penerima manfaat. Baik bansos reguler maupun non-reguler, menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos).

Meskipun pada penyaluran bansos non-reguler dimungkinkan penerima manfaat di luar DTKS jika memenuhi kriteria yang ditetapkan. Pelaksanaan bansos reguler seperti BPNT hampir selalu berjalan lancar. Pertanyaannya, mengapa penyaluran bansos nonreguler tak selancar bansos reguler?

Penyebabnya karena rumah tangga yang butuh bantuan meningkat drastis. Di Jabodetabek, saat kondisi normal, jumlah penerima bansos reguler BPNT hanya 744.062 rumah tangga. Padahal, menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Agustus 2019, jumlah orang berusaha sendiri di Jabodetabek mencapai 3,9 juta orang. Dari mulai pedagang asongan hingga dokter.

Dampak pandemi Covid-19 begitu cepat dan luas. Tak mudah mendata tambahan rumah tangga baru yang membutuhkan bansos dalam waktu singkat. Terjadilah inclusion dan exclusion error. Keluarga yang berhak menerima bantuan justru tak menerima bantuan (exclusion error). Sebaliknya, keluarga mampu justru menerima bansos pemerintah (inclusion error).

Namun publik juga perlu tahu bahwa meskipun belum sempurna, akurasi data target rumah tangga penerima bansos reguler Indonesia cukup baik, mencapai 85 persen, lebih baik dibanding beberapa negara seperti Meksiko (62 persen), Cile (83 persen), dan Honduras (79 persen).

Pengembangan data terpadu
Dari waktu ke waktu, Indonesia terus menyempurnakan data terpadu perlindungan sosial sebagai dasar penetapan sasaran penerima program bansos maupun jaminan sosial. Dimulai dari pendataan sosial ekonomi (PSE) 2005, pemerintah mendata 19,1 juta rumah tangga, by name by address, dengan kondisi sosial-ekonomi terendah. Tahun 2008 dilakukan pemutakhiran data PSE 2005 terhadap 18,5 juta rumah tangga (60,4 juta penduduk). Hasilnya disebut pendataan program perlindungan sosial (PPLS) 2008, menjadi dasar pelaksanaan program kemiskinan seperti PKH.

SUMBER: DATA TERPADU KESEJAHTERAAN SOSIAL---Penerima bantuan sosial selama Pandemi Covid-19. Sumber : Data Terpadu Kesejahteraan Sosial

Pemerintah terus memperbaiki metodologi pendataan. Pada 2011 dilakukan lagi pemutakhiran data (dikenal dengan PPLS 2011), menggunakan metodologi yang lebih baik dibanding PPLS 2008. Rumah tangga yang disurvei lebih banyak (25,2 juta rumah tangga) dan menjadikan data Sensus Penduduk 2010 sebagai starting point. Dengan menggunakan proxy mean testing (PMT), hasil PPLS 2011 diolah menjadi basis data terpadu (BDT) 2011. Metode PMT me-ranking rumah tangga dari mulai yang termiskin hingga kurang miskin sesuai kriteria yang ditetapkan.

BDT 2011 dimutakhirkan kembali di periode kepemimpinan Presiden Jokowi pada tahun 2015. Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 menjadi “sensus” rumah tangga miskin yang terakhir. PBDT 2015 mengalami penyempurnaan metodologi dibanding BDT 2011, di mana daftar rumah tangga dalam data terpadu dimusyawarahkan dan disepakati terlebih dahulu di Forum Komunikasi Publik (FKP) tingkat desa. Kualitas data lebih baik dan mendekati fakta lapangan.

Sejak tahun 2016, pengelolaan data terpadu secara bertahap beralih dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ke Kementerian Sosial (Kemensos), berkembang menjadi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun pemutakhirannya diserahkan ke pemerintah daerah. DTKS 2020 memuat informasi sosial, ekonomi, demografi dari 27.060.751 rumah tangga, 29.085.939 keluarga, 97.388.064 jiwa dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia.

Namun masalahnya, 93 persen DTKS 2020 masih sama dengan PBDT 2015. Banyak daerah tak melakukan pemutakhiran dalam empat tahun terakhir. Baru saat pemerintah mengumumkan pemberian bansos non-reguler, lebih dari 500 kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data secara tergesa-gesa, sehingga berdampak terhadap akurasi data yang dihasilkan.

Solusi satu data termutakhirkan
Terdapat dua solusi utama terkait data terpadu kesejahteraan sosial. Pertama, penerapan prinsip satu data perlindungan sosial, mengacu pada Perpres No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Seharusnya hanya ada satu standar data berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang digunakan untuk seluruh jenis program perlindungan sosial.

Data tersebut harus mudah diakses, dapat dibagi-pakaikan oleh institusi pelaksana program perlindungan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pengalaman bansos pendidikan yang lalu, Kemendikbud menggunakan Data Pokok Pendidikan (dapodik) sebagai acuan intervensi.

Pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih ada 15 juta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan yang tak tercatat di DTKS. Karena saat pemberlakuan program JKN di awal 2015, pemerintah harus mengakomodasi data penerima manfaat yang sebelumnya masuk dalam program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Subsidi energi (listrik dan gas) juga harus mengacu pada DTKS. Jika seluruh program perlindungan sosial berbasis data yang sama, pemerintah dapat memetakan keragaman dan kombinasi program perlindungan sosial yang diterima masyarakat. Keluarga paling miskin seharusnya menerima jenis program perlindungan sosial paling lengkap. Informasi yang diperoleh dapat dikembangkan untuk mengestimasi perkiraan perbaikan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, data perlindungan sosial harus dimutakhirkan secara reguler. Mengapa perlu pemutakhiran data? Karena secara alamiah selalu terjadi dinamika yang disebabkan tiga peristiwa penting kependudukan, yaitu kematian, perkawinan (terbentuknya keluarga baru), maupun perpindahan (migrasi). Meskipun prosedur pemutakhiran DTKS sudah diatur dalam Permensos No 5 Tahun 2019, namun Kemensos didukung Kemendagri sebagai pembina daerah perlu melakukan pendampingan dan pemantauan terhadap pemda.

Sumber daya manusia dan keuangan di setiap daerah tidak sama. Tanpa pendampingan yang memadai, beberapa daerah dengan kapasitas terbatas akan sulit melakukan pemutakhiran data, berujung pada ketidaktepatan sasaran. Untuk pengembangan awal, daerah seperti Jabodetabek dan kawasan metropolitan lainnya, perlu membangun mekanisme pendaftaran mandiri bagi yang membutuhkan perlindungan sosial secara real time. Data penerima bansos nonreguler pandemi Covid-19 (bansos tunai, bansos sembako, maupun BLT dana desa) yang tidak ada dalam DTKS, agar menjadi prelist bagi pemutakhiran DTKS berikutnya.

Satu data terpadu kesejahteraan sosial yang akurat dan termutakhirkan menjadi aset berharga bagi bangsa ini. Pengelolaan bersama DTKS melalui koordinasi terpadu lintas kementerian perlu dibangun dalam suatu forum. Seperti halnya di tingkat desa, dibutuhkan forum komunikasi publik tingkat nasional di bawah koordinasi Menko PMK, sebelum disahkan Menteri Sosial.

Kita yakin bahwa setiap kebijakan yang berkualitas pasti mengacu pada data berkualitas. Dengan menerapkan solusi di atas, karut-marut data penerima program perlindungan sosial dapat dihindari di masa depan. Membangun dan mengelola data terpadu ibarat orkestrasi yang membutuhkan kerja sama antar-jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Orkestra yang indah akan terwujud, jika semua pihak tahu dan mau menjalankan perannya dengan baik.

Sonny Harry B Harmadi, Anggota Pokja Statistik Sosial (Forum Masyarakat Statistik) Periode 2015-2018/Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan  Masyarakat, Desa, dan Kawasan Kemenko PMK.

Sumber: Kompas, 7 Juli 2020

No comments:

Post a Comment