Friday, July 10, 2020

Kongres Kebudayaan Desa: Mencari Arah Tatanan Baru dari Desa

Melalui Kongres Kebudayaan Desa, siasat kebudayaan perlu dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi.

Pandemi Covid-19 membuat setiap orang mengingat kembali arti pulang ke desa. Semenjak Covid-19 menyebar ke pelosok Nusantara, orang-orang kota berbondong-bondong pulang ke desa. Kota-kota besar yang selama ini didamba demi rupiah luluh lantak. Kembalinya orang-orang ke desa seharusnya jadi lonceng pengingat bagi Indonesia bahwa desa kembali menjadi penyelamat bagi rakyat di tengah badai krisis Covid-19.



Pandemi ini telah menyingkap secara gamblang dilema yang dihadapi cara pandang manusia modern yang antroposentris. Kebudayaan manusia modern telah menggeser paradigma kosmosentris bahwa hidup manusia tak terpisah dari alam. Kebudayaan modern yang antroposentrisme membuat manusia menjadi pusat segala sesuatu.

Manusia sangat mengandalkan rasionalitas dan subyektivitas individualis. Hal ini pun berdampak pada pola relasi manusia dan alam yang jadi subordinatif dan dominatif. Manusia terpisah dari alam.

Covid-19 adalah buah perlakuan manusia terhadap alam. Alam melakukan perlawanan balik atas kerusakan besar-besaran yang dibuat manusia dengan membabat hutan, merusak ekosistem, dan menyebabkan patogen zoonosis keluar dari inangnya, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia.

Sejak Desember 2019, pelan tetapi pasti, dunia memasuki retreat panjang. Aktivitas berhenti, pemerintahan di seluruh dunia menghadapi virus korona yang belum ditemukan vaksinnya. Alam menunjukkan taringnya, mengurung manusia untuk tak serakah. Serangan balik alam ini telah membalik seluruh tatanan normal yang selama ini dianggap mapan. Covid-19 telah mendekonstruksi seluruh tatanan tanpa teriakan revolusi.

Datakrasi dari desa
Berubahnya seluruh tatanan normal oleh Covid-19 telah menimbulkan banyak persoalan. Salah satunya, runtuhnya tatanan ekonomi. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebutkan, angka kerugian akibat korona di Indonesia mencapai Rp 320 triliun pada kuartal I-2020 karena ekonomi merosot sampai 2,03 persen.

Dengan kondisi ekonomi yang ambruk, pemerintah membuat bantalan dengan menggelontorkan jaring pengaman sosial bagi warga terdampak, tak terkecuali warga desa. Bantuan langsung tunai (BLT) Rp 22,4 triliun dialokasikan kepada 74.953 desa di seluruh Indonesia dari pagu dana desa yang tahun ini mencapai Rp 72 triliun (Kompas, 22/5/2020). Namun, pemberian dana ini mengalami persoalan pada validasi data penerima yang tumpang tindih.

Karut-marut pemberian dana bantuan bagi warga desa melalui BLT ataupun bantuan tunai yang lain tak lepas dari kelemahan dalam sistem data. Dalam situasi bencana, isu paling krusial adalah kebijakan berbasis data. Kebijakan yang baik harus disuplai dari data yang valid untuk menghasilkan kebijakan yang benar.

Tumpang tindih pengelolaan data dan munculnya data yang tak kredibel membuat pemerintah mengalami defisit kepercayaan publik. Selama pandemi, kebijakan dan keputusan lintas sektoral di tingkat pusat banyak menggunakan data yang tak terintegrasi antarlembaga sehingga akhirnya dampaknya merembet ke tingkat desa. Di tingkat desa, aparatur desa harus mengurus dan jadi tameng karut-marut data yang kadang berujung konflik akibat buruknya tata kelola data pengelolaan bantuan di tingkat nasional.

Salah satu tawaran yang bisa diproyeksikan di masa depan pasca-Covid-19 adalah datakrasi. Datakrasi adalah cara untuk mengelola hidup di masa depan untuk memperbaiki masyarakat berbasis data. Praktik datakrasi ini diinisiasi salah satu desa tebaik di Indonesia, Desa Panggungharjo di Yogyakarta, pada masa Covid-19.

Desa memanfaatkan teknologi untuk menentukan arus informasi; memetakan kondisi sosial, ekonomi, dan kesehatan warga, sehingga pemerintah desa bisa sesegara mungkin mengeksekusi kebijakan berbasis data kredibel. Efeknya, data bantuan dari desa dan supra-desa tidak tumpang tindih dengan kebijakan lain di tingkatan desa dan keselamatan warga bisa menjadi prioritas utama.

Pada praktiknya, datakrasi bukan semata menggunakan teknologi untuk mengumpulkan data, tetapi memberi warga desa kemampuan membaca data, memusyawarahkan setiap persoalan dari data, dan mengambil semangat gotong royong sebagai marwah atas data.

Datakrasi berupaya mengembalikan roh warga desa sebagai subyek aktif atas data. Datakrasi akan mengurangi segregasi data dan egosentrisme antar-pemangku kepentingan. Datakrasi adalah kerja kolaboratif dan harus dipikirkan negara ke depan untuk menjadikan setiap warga, terutama warga desa, subyek politik aktif dan birokrasi yang lebih efektif dan efisien.

Arah tatanan baru
Selain karut-marut bantuan, ada banyak lubang dalam berbagai aspek kehidupan yang harus ditata ulang. Terminologi normal baru selama ini hanya disederhanakan dengan jaga jarak, cuci tangan, jaga kebersihan, dan pakai masker. Ini menafikan fakta bahwa di tingkatan desa ada banyak persoalan yang harus ditata.

Desa di masa Covid-19 membuktikan diri jadi bantalan kuat menghadapi terjangan pandemi. Orang kota yang ekonominya luluh lantak diterima kembali ke rumah desa. Desa yang menopang kota agar tak kekurangan pangan saat pandemi. Orang desa yang menjaga pergerakan orang agar tak bepergian. Di tingkat RT/RW dan desa dengan cara khas desa memastikan lingkungan aman fisik, lahir, dan batin agar warga semaksimal mungkin terhindar dari korona.

Berbagai elemen warga desa juga berupaya sekuat tenaga menyokong Indonesia dari Covid-19. Bagi desa, menangani Covid-19 butuh siasat-siasat kebudayaan. Desa menyadari, warga desa hari ini banyak yang mewarisi tanah, tetapi tak mewarisi pengetahuan. Maka, penting menggali kembali kekayaan pengetahuan, nilai, dan tata hidup desa khas Nusantara sebagai siasat kebudayaan di masa pandemi dan sesudahnya lewat Kongres Kebudayaan Desa.

Selama ini, warga desa meyakini, puncak relasi sosial mereka adalah gotong royong. Ekonomi yang mereka bangun di desa adalah hasil kerja sama dan keputusan politik diambil dengan jalan musyawarah. Kekuatan ini selalu coba direnggut liberalisme dan kapitalisme.

Pandemi ini telah membuka ruang bagi desa untuk menyumbangkan pemikiran bagi Indonesia dari desa dari warisan-warisan leluhur di seluruh pelosok Nusantara. Desa meyakini, perlu ada formulasi ulang atas seluruh tatanan, baik tatanan ekonomi maupun kesehatan, keamanan, politik hukum, dan berbagai tatanan lain.

Melalui Kongres Kebudayaan Desa, siasat kebudayaan perlu dirumuskan untuk mengelak dari kepunahan manusia, mengelak dari kehancuran dan kehilangan nyawa yang lebih banyak lagi. Pandemi mengajarkan sisi positif bahwa manusia dengan segala daya, akal budi, dan kreativitasnya harus mencari ruang ”perlawanan” yang lebih baik.

Menyerah berarti mengantarkan kematian dan kemanusiaan. Maka, tak ada kata lain selain terus berjuang, dan perjuangan itu harus dimulai dari desa. Sebuah entitas negara yang paling dekat dengan warganya. Tak ada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan warga selain desa.

Ryan Sugiarto, Ketua Kongres Kebudayaan Desa;, Dosen Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.

Sumber: Kompas, 10 Juli 2020

No comments:

Post a Comment