Friday, July 24, 2020

Hidup Mandiri di Kampung Sendiri

KOMPAS/ARSIP LAKOAT KUJAWAS--Salah satu petenun di Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kini semakin sedikit generasi muda yang menekuni tenun di bagian barat Pulau Timor.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Demikian warga Desa Taiftob, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, berjuang untuk mandiri dengan potensi alam dan kearifan lokal.

Pertengahan tahun, langit di kawasan Mollo, Nusa Tenggara Timur, lebih sering berawan. Sesekali turun hujan dan berkabut. Warga setempat menyebutnya periode hujan timur. Periode di mana warga memasuki masa tanam kedua.


Dicky Senda (33) baru saja memetik kujawas (jambu) di kebun belakang rumahnya, Selasa (21/7/2020). Salah satu petani di Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, itu akan mengolah kujawas-kujawas menjadi minuman fermentasi. Hasilnya untuk konsumsi pribadi maupun produk dagangan Lakoat.Kujawas, komunitas kewirausahaan yang dipelopori anak-anak muda.

”Belakangan ini, kami (komunitas Lakoat.Kujawas) sering membuat fermentasi dari aneka buah dan sayur untuk produk komunitas dan konsumsi pribadi,” ujar Dicky. Minuman hasil fermentasi hanya salah satu dari segelintir pengembangan pangan lokal oleh Lakoat.Kujawas.

Sejak tahun 2019, kewirausahaan sosial itu sedang giat-giatnya mengembangkan pangan lokal, termasuk buah dan sayur. Hasilnya beragam, mulai aneka olahan makanan, minuman, camilan, hingga bahan campuran roti.

KOMPAS/ARMIN SEPTIEXAN BAKTI---Anak-anak menghabiskan waktu dengan membaca buku di perpustakaan Lakoat.Kujawas di Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Apa yang sedang berlangsung di Desa Taiftob ibarat angin segar di tengah paceklik petani dari generasi muda di bagian barat Pulau Timor. Sebab, menjadi petani di kampung halaman jadi pilihan bontot ketimbang bekerja di kota atau menjadi buruh migran. Tidak heran banyak potensi alam dan kearifan lokal yang hilang. Belum lagi persoalan perdagangan manusia yang tak kunjung tuntas.

Padahal, Mollo dengan bentang alam pegunungan memiliki hasil alam yang kaya. Ada sorgum, kacang-kacangan, jagung, madu hutan, dan masih banyak lagi. Hasil alam itu dilengkapi sejarah panjang budaya bertutur, tari-tarian, hingga percampuran kebudayaan.

Keprihatinan-keprihatinan itulah yang melahirkan Lakoat.Kujawas pada Juni 2016. Inisiatif warga Desa Taiftob untuk meningkatkan ekonomi sekaligus memberdayakan warga, khususnya kaum muda dan perempuan. Fokusnya pada literasi, kesenian, kebudayaan, dan ekonomi kreatif.

Caranya dengan menelusuri kembali alam dan budaya untuk pengarsipan dan dokumentasi, termasuk menggali ingatan-ingatan kolektif warga, arsip-arsip, dan dokumentasi lawas. Salah satunya dari Universitas Leiden, Belanda.

KOMPAS/ARSIP LAKOAT KUJAWAS--Anak-anak dalam komunitas Lakoat.Kujawas menampilkan tarian tradisional Timor, Nusa Tenggara Timur, di Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan.

Perpustakaan
Sebagai langkah awal, Lakoat.Kujawas membentuk perpustakaan kecil di rumah salah seorang warga. Perpustakaan kemudian tumbuh dan berkembang menjadi komunitas anak muda, pusat kesenian dan kebudayaan, rumah penginapan, serta usaha perjalanan wisata.

Dicky menuturkan, perpustakaan menjadi fondasi Lakoat.Kujawas karena keyakinan bahwa hal utama untuk mandiri di desa sendiri ialah pendidikan. Apalagi anak-anak di desanya sulit mengakses bahan bacaan. ”Bicara apa pun, tantangannya adalah membenahi pendidikan,” ujarnya.

Buku-buku di perpustakaan berasal dari koleksi pribadi ataupun sumbangan banyak orang dari sejumlah daerah. Lantas pekerjaan rumah selanjutnya ialah membentuk ekosistem warga yang aktif. Tidak sekadar meminjam atau membaca buku saja karena lama-kelamaan akan menjenuhkan, terutama bagi anak-anak.

Di sinilah jejaring dan media sosial menjadi salah satu tumpuan mengembangkan Lakoat.Kujawas. Media sosial laksana jembatan penghubung desa dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana ke dunia luar. Media sosial menjaring sukarelawan dari berbagai latar belakang, antara lain seniman, sastrawan, akademisi, dan aktivis.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA---Hutan milik kelompok tani Desa Wolwal Barat, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, binaan dinas kehutanan. Tampak pohon kenari berusia puluhan tahun, yang dipelihara untuk diambil buah, sekaligus sebagai hutan wisata.

Mereka dengan sukarela menjadi mentor untuk mengasah kreativitas anak-anak dalam ruang kreatif, seperti kelas menari, bertutur, teater, puisi, dan film. Belum lagi membantu pengembangan komunitas. Contohnya budayawan lokal Mateos Anin, sejarawan muda yang meneliti Mollo di era prakolonial Sarlota Naema Sipa, novelis Okky Madasari, dan penulis Royan Julian.

Aktvitas itu memantik perhatian sekolah, gereja, dan pemerintah. Para orangtua pun tidak ingin ketinggalan untuk turut serta menjadi bagian dari Lakoat.Kujawas. Keikutsertaan itu menjawab kerinduan mereka untuk kembali dekat dengan alam dan kearifan lokalnya.

Bertutur
Keterlibatan aktif para orangtua dalam Lakoat.Kujawas berawal dari pertanyaan, apa yang akan bapak dan mama lakukan dan apa idenya? Lantas ayo kita sama-sama bergerak.

Sepasang suami-istri, Willy Oematan (42) dan Marlinda Na’u (37), menggagas kembali tradisi bertutur kepada anak-anak dalam kelas bertutur. Alasannya para orangtua sudah tidak pernah mendongeng untuk anak-anak. Suatu hal yang lumrah puluhan tahun lalu di dalam Ume Kbubu (rumah bulat). ”Tradisi itu nyaris tidak ada lagi. Kami ajak penutur masuk ke kelas, bertutur, dan anak-anak menulis tuturan-tuturan itu,” ujar Willy.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA---Jalan provinsi di Timor Tengah Selatan sedang dikerjakan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan dana pinjaman dari Bank NTT senilai Rp 150 miliar. Dana yang sama juga digunakan untuk membangun jalan provinsi di Manggarai Timur dan Manggarai.

Bertutur tidak selesai di ruang kelas saja. Bertutur kemudian berkembang ke dalam ekowisata. Wisata menjelajahi pegunungan, batu, dan mata air sembari mempelajari alam dan kearifan lokal Mollo. Bertutur ada di dalam ekowisata karena kesadaran wisata yang sekadar masif dan viral justru mendatangkan masalah. Sampah yang merusak alam, misalnya. ”Ekowisata bukan hanya swafoto dan pulang, melainkan belajar budaya setempat,” katanya.

Willy dengan ekowisata, Marlinda dengan kedaulatan pangan. Ia tidak saja mengurusi pangan lokal, tetapi menanam kembali benih lokal serta mengajak anak muda aktif dalam Lakoat.Kujawas.

Dimulai dari mengumpulkan sorgum, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Itu berguna sebagai alternatif pengganti beras. ”Mulai ada kesadaran menanam benih lokal yang tumbuh subur karena sesuai tempatnya. Apalagi tidak ada budaya bersawah sehingga mengapa harus bergantung pada beras,” ucap Marlinda.

Tidak berhenti di situ. Roda-roda ekonomi warga akan bermasalah tanpa tabungan. Lakoat.Kujawas bergabung dengan koperasi setempat yang sudah punya nama cukup besar. Koperasi menjadi tempat menabung hasil kewirausahaan sosial. Caranya dengan menyisihkan sebagian keuntungan untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Tabungan tidak boleh untuk keperluan lain.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA---Perwakilan masyarakat di Timor Tengah Selatan hadir dalam upacara adat tolak bala, Sabtu (25/3). Foto bersama dilakukan setelah menggelar upacara adat.

Empat tahun, usia yang masih tergolong muda. Walakin, Lakoat.Kujawas mencatat capaian-capaian yang menjadi semangat tambahan untuk terus bergerak tanpa kenal lelah. Berbagai aktivitas dan karya mereka dapat ditengok melalui akun Instagram @lakoat.kujawas dan lkjws.co atau Twitter @lakoatkujawas.

Kelas-kelas kreatif menjadi paling menonjol. Kelas-kelas itu melahirkan lima buku cerpen, dongeng, dan puisi. Kolaborasi berbagai pihak mendorong anak-anak mencurahkan perasaan, isi hati, dan kegelisahannya tentang alam, hutan, situs batu, mata air, dan ekologi.

Tidak hanya itu, kelas-kelas mendorong anak-anak menuangkan perasaannya tentang melewati masa kecil dan remaja tanpa orangtuanya yang menjadi buruh migran, pubertas dan menstruasi pertama tanpa ibu.

Alda Fobia (17) salah satunya. Peserta kelas menulis itu punya potensi dalam natoni (bertutur adat). Pelajar dari lereng Mutis, gunung yang sakral bagi warga setempat, itu dalam cerpen dan puisi karyanya selalu merefleksikan peran menjaga lingkungan, hutan, mata air, dan gunung.

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA--Masyarakat adat sering menyelenggarakan ritual adat melarang pembakaran atau kebakaran hutan oleh masyarakat adat, tetapi upaya itu sering gagal. Seperti tampak ritual adat diselenggarakan masyarakat Kapan, Timor Tengah Selatan, untuk menjaga kawasan Gunung Mutis, tetapi sering dilanggar. Kebakaran selalu terjadi.

Kekayaan alam dan kearifan lokal juga mulai aktif dihadirkan dalam pameran-pameran dan kegiatan terkait, misalnya pameran foto Mollo tempo dulu, kesenian anak dan remaja.

Dicky sebagai penggagas Lakoat.Kujawas berharap ke depan kewirausahaan sosial terus tumbuh dan berkembang sebagai pusat kebudayaan dan kesenian. Sebagaimana awan, hujan, dan kabut yang tak menyurutkan semangat warga Desa Taiftob. Semangat yang telah kembali membara empat tahun terakhir untuk berdaya dari potensi alam dan kearifan lokalnya.

Oleh  FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY

Editor:  ANDY RIZA HIDAYAT

Sumber: Kompas, 24 Juli 2020

No comments:

Post a Comment