”Saya terinspirasi kata-kata Bung Karno tentang desa yang berdikari. Kalau desa mau maju, harus memiliki usaha sendiri,” kata Rasim, Kepala Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (20/2).
Dana desa, yang oleh sebagian besar kepala desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan, oleh Rasim dimanfaatkan untuk merintis agrowisata sebagai pusat bisnis desa serta memperkuat BUMDes. Agrowisata Bulak Barokah kini mulai dilirik pelancong sejak resmi dibuka pada November 2017. Mereka datang dari Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Banyumas.
Desa Langgongsari memperoleh dana desa sebesar Rp 315 juta pada 2015, Rp 600 juta pada 2016, dan Rp 922 juta pada 2017. Rasim menggunakannya untuk membangun berbagai bidang usaha, mulai dari pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, perdagangan, hingga sentra pengolahan gula kelapa. Belakangan, dikembangkan pula pariwisata. Semua usaha desa itu dibangun secara terpadu di satu lokasi bernama Agrowisata Bulak Barokah.
Di agrowisata itu, ada 24 tempat pengolahan gula kelapa. Pengolahan gula kelapa sengaja disatukan agar mudah dijangkau pembeli. Tempatnya pun lebih bersih dibandingkan dengan tempat produksi gula di rumah-rumah warga.
”Diharapkan 10-15 tahun ke depan produksi gula merah dari desa ini bisa mencapai 10 ton per hari dengan kualitas ekspor,” ujar Rasim. Di Desa Langgongsari saat ini ada sekitar 450 perajin gula kelapa dengan produksi 2-3 ton per hari.
Selain sentra pengolahan kelapa, di agrowisata itu telah dibangun 26 kios untuk warung masing-masing berukuran 3 meter x 4 meter dengan sewa Rp 600.000 per tahun. Ada pula peternakan dengan 30 kelinci, 16 sapi, 3 kerbau, 25 kambing berbagai jenis seperti teksel, dan domba keturunan garut. Belasan ribu ikan lele, nila, patin, dan melem juga dipelihara di sana.
Agrowisata itu kian hijau dengan aneka tanaman keras yang terdiri dari 650 pohon durian, 400 pohon petai, tebu, salak, serta sayur-mayur. ”Semua potensi desa kami kemas di sini,” ujar Rasim dengan nada bangga.
Pedagang keliling
Sejak muda, Rasim memang dekat dengan pengolahan kebun dan pertanian karena ia sering membantu sang ayah bertanam padi dan sayur-mayur di Desa Karanggude, Karanglewas, Banyumas. Setelah lulus dari SMAN 1 Ajibarang pada 1997, ia banting setir menjadi pedagang keliling.
Usaha tersebut berkembang dan maju hingga 2005. Dari situ, ia mendirikan UD Simra Perkasa. ”Simra Perkasa itu berasal dari nama saya yang dibalik. Ra-Sim menjadi Sim-Ra,” kata Rasim.
Pekerja UD Simra pernah mencapai 100 orang yang kebanyakan anak putus sekolah. Omzet penjualan setiap pekerja bisa mencapai Rp 30 juta. Area penjualan membentang sampai Ajibarang, Purwojati, dan Pekuncen. Namun, usaha itu mengalami penurunan pada 2009 akibat persaingan yang ketat di bisnis perdagangan.
Rasim hingga kini masih berupaya mempertahankan usaha tersebut untuk menopang kehidupan keluarga dan tiga pekerjanya.
Pengalamannya mengolah kebun dan berdagang membuat Rasim pandai melihat peluang. Ketika ia terpilih menjadi Kepala Desa Langgongsari—desa asal istrinya—pada 2013, ia tahu apa yang akan dilakukannya untuk warga.
Ia rutin bersilaturahim dan berkunjung ke rumah-rumah warga. Ia tahu kegiatan itu melelahkan karena warganya berjumlah 7.600 jiwa dari 2.350 keluarga. Namun, itulah kunci yang membuatnya dekat dengan warga. Ia juga bersilaturahim ke pemegang kebijakan dan pihak-pihak lain yang bisa membantunya membangun desa.
Dua tahun kemudian, silaturahimnya membuahkan hasil. Desa Langgongsari mendapatkan akses air bersih melalui kerja sama dengan Perhutani dan Dinas Cipta Karya. Program pipanisasi sepanjang 13 kilometer dari sumber air di Gununglurah langsung mengatasi persoalan langkanya air bersih terutama pada musim kemarau. Penyediaan air bersih itu dikelola oleh BUMDes Tirta Nala.
Rasim terus bergerak memanfaatkan dana desa untuk kepentingan produktif, seperti membangun BUMDes dan menggelar pelatihan. Ia berpandangan, desa tanpa usaha tidak akan mandiri. Desa seperti itu akan terus mengandalkan kucuran dana dari pemerintah.
Untuk mewujudkan visinya tentang usaha desa, Rasim berupaya mengajak warga mengelola 50 hektar tanah milik desa. Rasim ingin tanah desa itu dioptimalkan pemanfaatannya untuk perkebunan kelapa. Saat ini, sudah ada 600 bibit kelapa genjah yang ditanam di lahan desa seluas 2 hektar.
”Tanah ini adalah ladang tadah hujan. Dengan ditanami kelapa genjah, nantinya dapat menambah produktivitas gula kelapa. Di sela-selanya akan diberi tebu dan juga akan dibangun peternakan sapi,” ujar Rasim sambil menunjukkan deretan bibit kelapa genjah yang ditanam dengan jarak 10 meter.
Ide Rasim tidak berjalan begitu saja sebab sebagian tanah desa itu telanjur diokupasi warga secara perseorangan dengan ditanami singkong. Warga juga keberatan, bahkan menentang sistem pertanian terintegrasi dengan peternakan yang diusulkan Rasim.
Rasim menghadapi penolakan itu dengan sabar. Ia datangi pertemuan-pertemuan RT untuk memberikan pemahaman tentang manfaat pertanian terencana dan terintegrasi. Ia mengajak ketua RT, tokoh masyarakat, serta pemuda desa untuk studi banding ke luar wilayah.
Selain itu, ia juga menekankan kepada perangkat RT, tokoh masyarakat, dan warga bahwa dana desa aman digunakan asalkan bukan untuk kepentingan pribadi. Lewat pendekatan yang panjang, rencana pembangunan sistem pertanian terintegrasi dengan peternakan akhirnya bisa diwujudkan.
Sejauh ini, usaha desa yang digerakkan Rasim memang belum memberikan penghasilan yang banyak. Namun, Rasim optimistis, pada 2019 nanti pendapatan desanya dapat mencapai Rp 1 miliar.
Rasim telah memberikan contoh bagaimana dana desa seharusnya digunakan untuk kegiatan produktif. Atas inisiatifnya, Rasim memperoleh penghargaan sebagai Tokoh Inspirator Inklusi Keuangan pada bidang pengembangan BUMDes 2018 dari Otoritas Jasa Keuangan. Penghargaan diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta.
Rasim juga diundang untuk berbicara tentang pengelolaan dana desa di Dewan Pertimbangan Presiden. Selain itu, Desa Langgongsari menjadi tempat belajar bagi sejumlah perangkat desa lain.--MEGANDIKA WICAKSONO
Sumber: Kompas, 27 Februari 2018
No comments:
Post a Comment