Monday, November 13, 2017

Menyelami ”Barong Ider” Desa Kemiren

”Weluri nggandeng adat, adat nyangking agama”.

Istilah tersebut tepat menggambarkan Desa Kemiren, sebuah desa yang berada di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Adat istiadat yang sangat kaya menjadi ciri khas Desa Kemiren yang seluruh penduduknya bersuku Osing, orang asli Banyuwangi.

Desa Kemiren hanya berjarak 10 kilometer dari ibu kota Kabupaten Banyuwangi, dan menjadi jalur akses menuju kawasan wisata Gunung Ijen. Sebagaimana perdesaan di lereng gunung, sektor pertanian menjadi mata pencarian utama warga desa di sini.

Namun, tak hanya rajin bertani, warga desa Kemiren juga rajin memelihara tradisi adat istiadat serta kesenian yang diturunkan turun-temurun oleh leluhur mereka. Tradisi dan kesenian itu beragam, menjadikan Desa Kemiren kaya akan atraksi budaya.


Adat dan agama melebur menjadi satu dalam bentuk tradisi dari leluhur dan kini diwariskan kepada generasi mudanya. Di tengah perkembangan modernitas zaman, tradisi yang ada malah semakin kuat dengan generasi muda yang cinta akan budaya.

Di tengah perkembangan modernitas zaman, tradisi yang ada malah semakin kuat.

Sejumlah ritual adat desa dikemas menjadi festival budaya yang memikat banyak wisatawan. Melalui sanggar-sanggar kesenian, orang muda Kemiren melestarikan berbagai tradisi warisan leluhur.

Antusiasme anak muda terlihat dalam setiap ritual yang diselenggarakan. Mereka memiliki satu sanggar yang dinamakan Kemangi. Di sinilah, anak-anak muda Kemiren berkumpul untuk berlatih gamelan, menari, atau sekadar bercengkerama.

Sejumlah tokoh masyarakat diantaranya Sekretaris Desa, Kepala Perwakilan Adat, dan seniman menyiapkan perlengkapan untuk upacara Barong Ider Bumi di Sanggar Genjah Arum, Desa Kemiren. Foto-foto diambil 8 Juli 2016 oleh grh/Litbang Kompas.

Ritual seakan tidak bisa lepas dari kehidupan orang Kemiren. Semenjak lahir hingga meninggal selalu ada saja ritual yang harus dijalankan sebagai penanda peristiwa. Adat istiadat yang kental ini masih dijalankan sampai sekarang. Sejumlah acara festival diadakan, seperti barong ider bumi, tumpeng sewu, dan kopi seribu cangkir.

”Barong Ider”
Festival ”Barong Ider” dilakukan setiap tahun sekali. Saat ritual barong ider bumi diadakan, anak-anak muda menampilkan kesenian khas Kemiren, seperti tarian dan gamelan. Barong ider bumi merupakan ritual yang dilakukan setiap hari kedua Lebaran.

Ritual barong ider bumi merupakan wujud penghormatan orang Kemiren terhadap leluhur yang dipercaya kuat bersemayam di barong tersebut. Barong yang berusia sekitar 400 tahun dihadirkan melengkapi acara pernikahan atau sunatan.

Pak Pi’i (kiri), seorang pawang barong Ider Bumi dan anak lelakinya menunjukkan barong yang akan diarak (di-ider keliling desa). Barong yang digunakan di desa Kemiren ini diklaim pemuka Desa Kemiren sudah berusia sekitar 400 tahun. Ada sejak zaman penjajahan Belanda.

Hal itu dipercaya baik untuk keseimbangan dunia agar tidak terjadi lagi petaka terhadap desa atau untuk penolak bala. Kepercayaan kolektif inilah yang membuat seluruh warga Kemiren terlibat di semua ritual tanpa terkecuali.

Kepercayaan kolektif membuat seluruh warga Kemiren terlibat di semua ritual tanpa terkecuali.

Ritual diakhiri selametan tumpeng pecel pitik sekaligus doa bersama memohon keselamatan bumi Kemiren. Tumpeng pecel pitik digelar sepanjang jalan utama Kemiren. Semua pengunjung bisa ikut menyantap makanan ini bersama-sama dengan warga.

Sejak sekitar tahun 1998, ritual barong ider bumi dikemas lebih menarik. Anak-anak muda lebih banyak dilibatkan dalam kepanitiaan acara ini. Jalanan ditutup agar barong dapat leluasa mengelilingi desa, diiringi berbagai macam kesenian Kemiren, seperti tarian dan angklung.

Ritual lainnya yang dikemas menarik di Desa Kemiren adalah tumpeng sewu dan kopi seribu cangkir. Setiap rumah di Desa Kemiren mengeluarkan cangkir-cangkir kecil warisan leluhur.

Berbekal kopi yang diberikan oleh pemerintah desa, warga Kemiren membuat kopi yang ditaruh di cangkir-cangkir tersebut dan dinikmati bersama-sama. Festival ini berlangsung sepanjang hari. Lagi-lagi, semua pengunjung bisa menikmati kopi dengan cuma-cuma bersama warga.

Seluruh warga Desa Kemiren dan pelancong upacara Ider Bumi makan “pecel pitik” bersama di sepanjang jalan Desa Kemiren secara gratis. Pecel pitik adalah makanan khas Desa Kemiren dengan bahan daging ayam dan bumbu kelapa. Foto diambil 7 Agustus 2016.

Orang Osing
Osing diambil dari kata sing yang artinya tidak, alias tidak ikut ke Bali. Mereka dikenal sebagai cikal bakal orang Osing, suku asli penduduk Banyuwangi.

Munculnya sebutan Osing berawal dari kata Wong Osing atau orang Osing, yaitu mereka yang tetap tinggal di Banyuwangi saat agama Islam mulai masuk. Mereka yang ingin tetap memeluk agama Hindu memilih hijrah ke Bali, sedangkan yang tidak memilih tetap di desa itu.

Konon, pada tahun 1667, sejumlah orang dari Desa Karang Tangkar pergi ke alas kemiri untuk menghindari wabah banjir. Inilah asal mula keberadaan Desa Kemiren, yang diambil dari kata kemiri.


Sejumlah pemuka desa dalam pakaian asli orang osing desa Kemiren, yang dikenakan pada waktu-waktu tertentu saat upacara adat.

Kisah beralihnya Desa Kemiren menjadi desa adat dimulai pada tahun 1993-1998 saat Jawa Timur dipimpin oleh Basofi Sudirman. Saat itu, Kemiren sudah didaulat menjadi desa wisata dan desa adat karena dinilai memiliki adat istiadat yang unik. Bermacam ritual adat berbalut keagamaan dikemas, dipublikasikan melibatkan pemerintah.

Sejak dini
Orangtua memiliki peran penting dalam sistem kekerabatan di Kemiren. Mereka bertanggung jawab mewariskan tradisi kepada anak cucu. Oleh karena itu, anak-anak telah dilibatkan sejak dini dalam setiap tradisi yang ada sehingga tidak asing terhadap adat istiadat yang dimiliki.

Keguyuban memang sangat terasa ketika masuk ke Desa Kemiren, terlebih saat ada ritual. Seluruh warga tanpa terkecuali bahu-membahu saling membantu. Tanggung jawab komunal masyarakat desa hadir di segala segi kehidupan. Bahkan, jika ada yang membuat rumah, tanpa diminta warga berdatangan menyumbang semen, batako, dan bahan bangunan lainnya.

Tanggung jawab komunal masyarakat desa hadir di segala segi kehidupan.

Orang Kemiren percaya bahwa jika mereka menolong kerabat saat ini, maka di masa mendatang jika membutuhkan bantuan akan dibantu juga. Inilah yang kemudian melandasi warga saling tolong-menolong satu sama lain.

Partisipasi warga dalam berbagai festival desa di Kemiren melibatkan segala usia demi meneruskan nilai-nilai kearifan lokal dan keselamatan desa yang diyakini.

Menjadi desa adat sekaligus desa wisata memang memberi banyak keuntungan bagi Desa Kemiren. Tidak hanya dari segi ekonomi, anak-anak muda kini memiliki kegiatan positif di sanggar-sanggar. Adat istiadat ternyata tidak hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk kesejahteraan saat ini. (IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/LITBANG KOMPAS) --IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA 

Sumber: Kompas, 12 Juni 2017

No comments:

Post a Comment