Monday, September 21, 2020

Sutomo, Panggilan Jiwa Pengawal Desa

KOMPAS/IQBAL BASYARI--+Sutomo, Kepala Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, berdiri di tengah lingkungan desanya yang bersih dan tertata rapi.

Sutomo dicalonkan sebagai kepala desa Doudo, Gresik, lantaran tak ada lagi warga yang bersedia jadi kepala desa. Ia menerima pencalonan itu dan membawa Desa Doudo jadi desa sarat prestasi.

Lulus dari Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang, Sutomo bekerja sebentar kemudian kembali ke kampung halaman. Ia mengabdi sebagai ”aktivis” desa lantas didaulat sebagai Kepala Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, selama tiga periode. Di tangannya, desa tertinggal itu berkembang menjadi desa sarat prestasi.

Panggilan jiwa itu datang sekitar delapan tahun setelah ia meninggalkan desanya untuk mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja di Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana selama lima tahun, dia sempat bekerja selama tiga tahun di Malang sebelum akhirnya diminta oleh keluarga kembali ke desa.

”Awalnya saya ingin kembali ke desa setelah sukses bekerja, tetapi banyak yang meminta saya segera pulang karena selama empat tahun terakhir tidak ada yang mau menjadi kepala desa,” kata Sutomo di Gresik, Kamis (17/9/2020).

Saat itu tahun 2001, usia Sutomo baru 28 tahun. Ia mulai mengabdi di desa sebagai anggota karang taruna. Selain itu, ia juga menjadi anggota termuda Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia memilih beternak ayam dan puyuh.

Empat tahun menjadi anggota BPD, Sutomo diminta untuk menjadi kepala desa karena tiga kali pendaftaran calon kepala desa, tak ada satu pun warga yang mau mendaftar. Masyarakat yang tak ingin kekosongan kepala desa kembali berulang akhirnya memintanya mendaftar menjadi calon tunggal kepala desa. Sutomo menerima amanah itu.

”Saya ingat pesan kakek saya untuk menjaga desa ini karena kebetulan dari delapan bersaudara, hanya saya yang masih tinggal di desa, bahkan saya satu-satunya yang menggunakan nama dari bahasa Jawa,” ujarnya.

Pencalonannya pun tak menemui kendala karena tidak ada calon lain yang mendaftar. Bahkan, dia menjadi kepala desa tiga periode tanpa pesaing karena selalu menjadi calon tunggal. Istrinya, Asti Sufana, sempat menggantikannya satu periode ketika belum ada aturan kepala desa boleh menjabat hingga tiga periode.

Warga memiliki harapan  yang cukup tinggi pada  Sutomo karena ia dianggap memiliki kemampuan yang memadai untuk memimpin 1.500 warga Desa Doudo. Ia sarjana, usia masih muda, dan memahami permasalahan desa, kurang apa lagi coba?

KOMPAS/IQBAL BASYARI---Sutomo, Kepala Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, berdiri di Pendopo Desa Doudo. Di tangannya, Doudo yang tadinya desa tertinggal bisa berkembang menjadi desa dengan banyak prestasi.

Sutomo menjawab tantangan itu. Pengalamannya tinggal di desa sejak kecil membuatnya paham bahwa masalah pertama yang harus diselesaikan adalah tentang kebanggaan. Rasa kebanggaan itu tak kelihatan sehingga warga cenderung enggan memajukan desanya.

Ia melihat banyak warga yang tidak mau menyebut nama desa di hadapan orang lain. Bagi warga, nama Doudo dianggap tidak membanggakan karena ejaannya mirip dengan kata ”wudoh” yang dalam bahasa jawa artinya telanjang.

Sempat ada usulan untuk mengganti nama desa dengan nama lain. Namun, Sutomo menilai hal itu bukan menjadi solusi terbaik. Bagi dia, yang terpenting bukanlah namanya, tetapi bagaimana warga desa bangga terhadap desanya sendiri.

Lalu, bagaimana memunculkan kebanggaan itu? Sutomo kemudian berinisiatif membangun gapura. Gapura sebagai penanda bahwa ada desa bernama Doudo di Gresik. Sebuah gapura megah agar warga memiliki identitas dan masyarakat desa lain mengetahui keberadaan Desa Doudo.

Untuk membangunnya, dia mengajak warga bergotong royong membangun gapura dengan dana swadaya. Awalnya dana terkumpul Rp 7 juta dari iuran. Kenyataannya, pembangunan gapura menelan biaya hingga Rp 30 juta. Warga pun kembali iuran, tetapi kali ini dalam bentuk material bangunan.

”Gapura dibangun dari uang masyarakat sehingga mereka merasa memiliki dan mau merawat aset bersama. Rasa kebanggaan dan memiliki desa sangat penting untuk pembangunan desa,” tutur Sutomo.

Mulai dari situ, secara perlahan warga mulai memahami dan ingin menyelesaikan masalah desa secara bersama-sama. Warga mulai memiliki kepedulian untuk mengembangkan desanya.

Kemudian, Sutomo melihat masalah lain yang sangat mendesak di desanya, yakni air bersih. Air di telaga desa itu hanya ada saat musim hujan. Setiap tahun, pada Agustus-Desember, Doudo mengalami kekeringan cukup ekstrem. Kondisi telaga yang kering kerontang memaksa mereka mencari air ke desa tetangga. Tak jarang, penduduk harus beli air dengan harga Rp 170.000 per tangki.

Pemerintah desa akhirnya berinisiatif membuat sumur bor pada 2008. Hingga saat ini ada lima sumur bor berkedalaman 100 meter yang mengalirkan air bersih untuk lebih dari 400 rumah di desa ini.

Belakangan, desa itu mendapat  bantuan dari PT Pertamina EP melalui unit Asset 4 Poleng Field. Dengan bantuan itu, Doudo memiliki Badan Usaha Milik Desa yang menjual air untuk warganya hingga ke desa tetangga. Pada 2012, Pertamina EP juga memberikan dukungan terkait air bersih dengan membangun sumur bor untuk memperluas penyaluran air bersih ke rumah penduduk.

Sejak ada akses air bersih, perilaku hidup sehat warga ditingkatkan dengan gerakan cuci tangan pakai sabun. Itu jadi gaya hidup warga, termasuk pengelolaan lingkungan. Hasilnya, pada 2014, Doudo menyandang gelar bebas buang air besar sembarangan.

Identitas kampung

Kreativitas Sutomo berlanjut dengan melahirkan identitas di kampung-kampung di Desa Doudo. Masing-masing kampung membangun identitas dengan tema yang berbeda, ada ”Kampung Aloevera”, ”Kampung Si Cantik Cerdas”, ”Kampung 3R”, ”Kampung Sayur”, dan ”Kampung e-Link”.

Kampung Aloevera ditandai dengan tanaman lidah buaya. Hampir setiap rumah memiliki tanaman lidah buaya dan dimanfaatkan untuk pembuatan makanan, seperti kerupuk, steak, permen, rempeyek, dan dawet.

KOMPAS/IQBAL BASYARI---Sutomo, Kepala Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Gresik, Jawa Timur, mengembangkan kampung-kampung tematik di Desa Doudo.

Kampung Si Cantik Cerdas, kependekan dari siap cari jentik cegah demam berdarah, warga aktif mencegah penyakit demam berdarah. Di setiap rumah ada tanaman lavender dan serai pengusir nyamuk serta kader juru pemantau jentik (jumantik).

Untuk mengajak warga mengelola sampah, maka dibangun ”Kampung 3R” (reduce, reuse, recycle) Ada pula ”Kampung Sayur” dengan keunggulan memanfaatkan lahan terbatas untuk menanam tomat, kangkung, sawi, brokoli, dan kacang panjang yang dikonsumsi sendiri dan dijual.

Lalu di kampung yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal diberi nama ”Kampung e-Link” (edukasi lingkungan inovatif kreatif). Limbah domestik dari 58 keluarga dipusatkan di satu titik berukuran 12 x 3 x 3 meter untuk mencegah pencemaran tanah dan air. Warga juga mengembangkan 600 titik biopori yang hasilnya untuk pupuk.

Gerakan yang dilakukan Sutomo di Desa Doudo mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Puluhan penghargaan didapatkan, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.

Penghargaan pertama yang diperoleh ialah menjadi pemenang Desa Sehat kategori PADAPA kabupaten Gresik pada 2015. Perbaikan perkonomian desa  diapresiasi dengan dijadikannya BUMDes Among Swa Arta sebagai juara pertama BUMDes se-Gresik pada 2017.

Pada 2018, Desa Doudo memperoleh penghargaan Upakarti Utama dan Indonesia Green Award kategori air bersih dan kategori pengelolaan sampah. ”Sejak 2015 hingga 2020, ada 35 penghargaan yang diraih Desa Doudo. Ini menjadi pelecut semangat bagi kami untuk terus membenahi desa,” katanya.

Menurut Sutomo, program-program yang dikemas dengan baik mampu meningkatkan partisipasi warga. ”Kuncinya adalah sentuh hati warga, jangan beranggapan pembangunan desa adalah kepentingan perangkat desa, tetapi menjadi kebutuhan warga sendiri,” katanya.

Dana desa

Sutomo mengaku tidak mengalami hambatan berarti saat mengajak warganya berkolaborasi memajukan desa. Namun, menurut dia, ada tantangan tersendiri menjadi kepala desa di era dana desa.

Sebelum ada program dana desa, karakter gotong rotong warga sangat mudah dimunculkan, terutama dalam hal pengumpulan dana. Partisipasi warga sangat nyata dengan sumbangan yang diberikan. Meskipun jumlahnya tidak seberapa, pembangunan yang diraih dirasakan sangat membantu meningkatkan rasa cinta dan bangga terhadap desa.

Saat program dana desa bergulir, muncul praduga dari warga terhadap perangkat desa. Warga curiga bahwa dana desa ratusan juta rupiah diselewengkan oleh perangkat desa. ”Maka, saya buka anggaran dana desa kepada masyarakat agar mereka paham peruntukannya,” ucap Sutomo.

Dengan cara itu, warga bahkan masih mau membayar iuran untuk pembangunan jika anggaran tidak mencukupi. Sutomo memberikan pemahaman bahwa dana desa memiliki banyak pos belanja dan jika dirinci masih belum cukup untuk melakukan pembangunan yang maksimal.

Pada periode terakhir jabatannya sebagai kepala desa, dia merasa masih memiliki target yang perlu diselesaikan, yakni  membuat warga desa mandiri secara ekonomi sehingga desa bisa menjadi ladang penghidupan. Warga tak perlu lagi mencari rezeki menjadi TKI ke luar negeri.

Sutomo

Lahir: Gresik, 25 Januari 1973

Istri: Asti Sufana

Anak:

Arya Satya Abirama

Ahmad Sandya Abirama

Azza Sasmita Abirama


Pekerjaan:

Kepala Desa Doudo

Peternak ayam dan puyuh


Pendidikan:

MI Muhammadiyah 03 Doudo (lulus tahun 1986)

MTs Muhammadiyah Banyutengah (1990)

SMA Muhammadiyah 04 Sidayu (1993)

Fakultas Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang tahun 1998


Oleh   AGNES SETTA PANDIA DAN IQBAL BASYARI

Editor:    BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 21 September 2020

No comments:

Post a Comment