Satu Data dari Desa

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO--Warga saat menerima bantuan beras dari Bupati Bogor yang disalurkan petugas dari Kantor Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Selasa (5/5/2020). Bantuan bupati terkait pelaksanaan kompensasi pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini berupa beras seberat 30 kilogram kepada setiap kepala keluarga yang terdata oleh dinas sosial.

Perlu diupayakan ketersediaan satu data di tingkat desa agar persoalan tumpang tindih data dapat diselesaikan langsung dari sumbernya.

Desa adalah ujung tombak pemerintahan sekaligus narasumber data untuk ragamnya kebijakan. Paradoksnya, pemerintah desa sebagian besar tak berpedoman pada data dalam membangun wilayahnya. Kondisi ini menuntun pada kebijakan yang tak tepat sasaran, contohnya kasus bansos.

Penyelenggaraan satu data dari desa, sejalan dengan penyediaan sistem informasi desa, sebagaimana amanat UU No 6/2014. Pemerintah desa menjadi penyelenggara statistik sektoral seperti diamanatkan Perpres No 39/2019. Merealisasikan ini, perlu kesiapan pembina statistik sektoral dan penyelenggaraan infrastruktur teknologi informasi (TI) dan kesiapan SDM pengelola.

Pertama, perlu inisiatif dan kerja sama dari pemda dan BPS kabupaten/kota untuk mulai membina pengelolaan data di tingkat desa. Pelaksananya melalui koordinator statistik kecamatan (KSK) yang melakukan pendampingan pada pemerintah desa/kelurahan dalam pembinaan statistik desa, registrasi penduduk, dan statistik dasar lain sesuai Keputusan Kepala BPS No 3/2002. Ini sangat memungkinkan karena KSK berhubungan langsung dengan desa/kelurahan di setiap pelaksanaan tugasnya.

Pemetaan kebutuhan

Kedua, percepatan dukungan TI dan pemenuhan SDM yang mumpuni di desa karena belum semua desa punya infrastruktur TI dan SDM terbatas. Pendampingan pengelolaan statistik di tingkat desa perlu dipetakan berdasarkan kebutuhan. Penganggaran untuk pengelolaan sistem di desa dapat memanfaatkan dana desa sesuai Permen Desa, PDT, dan Transmigrasi No 6/2020.

Saat ini, infrastruktur TI dan SDM mumpuni belum merata di semua desa. Hasil pemutakhiran potensi desa (podes) menunjukkan, masih ada 9.696 desa (13 persen) yang pendidikan kepala desanya, dan 4.901 desa (7 persen) yang pendidikan sekretaris desanya, SMP ke bawah. Ada 6.613 desa yang belum memiliki perangkat komputer/PC/laptop. Sebanyak 2.932 desa yang memiliki tak memanfaatkannya. Sebanyak 42.349 desa (56 persen) tak punya fasilitas internet di kantor kepala desa.

Untuk itu, pelaksanaan satu data dari desa perlu bertahap. Perlu dipetakan indikator apa saja yang dapat dikelola di tingkat desa. Pemda bersama BPS kabupaten/kota perlu menyatukan pandangan terkait metadata dan standar data. Prinsip ini diperlukan guna mendapatkan kesinambungan data.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA--Warga mengantre untuk mendapatkan bantuan langsung tunai dana desa di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (9/6/2020). Bantuan Rp 600.000 ini menyasar ke penduduk miskin di desa.

Cara paling mudah, dengan membuat jembatan indikator pembangunan yang tumpang tindih, yaitu data pemerintah yang dimutakhirkan secara berkala, baik data individu maupun data kewilayahan. Menyandingkannya dengan melihat kuesioner semua pendataan yang dilaksanakan pemerintah.

Pada data individu, penyatuan indikator data administrasi kependudukan, data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), data Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM), data survei sosial ekonomi masyarakat, hingga data sensus dapat dijembatani melalui nomor induk kependudukan (NIK).

Pada data kewilayahan seperti profil desa/kelurahan, podes, indeks desa membangun (IDM), dapat dijembatani melalui kode wilayah kerja statistik. Apabila tersedia satu data di tingkat desa, persoalan tumpang tindih data diselesaikan langsung dari sumbernya.

Udin Suchaini, Pemerhati Pembangunan Desa, Bekerja di BPS.

Sumber: Kompas, 21 Agustus 2020