Tuesday, August 11, 2020

Padat Karya Bermesin Bumdes



Agustus hingga Desember 2020 menjadi golden time penyiapan pulihnya ekonomi 2021. Desa menyingsingkan tangan lewat padat karya gaya baru berbekal dorongan badan usaha milik desa atau BUMDes.

Agustus hingga Desember 2020 menjadi golden time penyiapan pulihnya ekonomi 2021. Desa menyingsingkan tangan lewat padat karya gaya baru berbekal dorongan badan usaha milik desa atau BUMDes.

Bukan sekadar menanggulangi kemiskinan sebagaimana umumnya, padat karya tunai desa (PKTD) kali ini mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Konsekuensinya mengubah ranah PKTD dari infrastruktur menjadi kegiatan ekonomis, serta BUMDes menggantikan peran ad hoc Tim Pengelola Kegiatan (TPK).

Dominasi upah pekerja

Amartya Sen semula menggarap konsep padat karya sebagai pembangunan infrastruktur yang dikerjakan golongan miskin. Caranya, upah dipatok di bawah pasaran, seperti 80 persen dari upah tukang, agar tenaga terampil enggan mengambil pekerjaan ini. Upah sekaligus lebih tinggi dari garis kemiskinan harian, sebagai wortel pemikat kerja orang miskin.

Namun, di perdesaan Indonesia upah padat karya setinggi upah tukang terampil. Menariknya, pekerja terampil dan golongan miskin tetap memadati lantaran padat karya diasosiasikan kerja bakti, bukan mencari nafkah. Sebelum 2014, padat karya ala proyek pemberdayaan batal memberi upah pekerja. Tentu, secara administratif tertulis ada upah yang dibagikan.

Kenyataannya, uang itu dikembalikan kepada proyek dengan alih nama swadaya masyarakat. Tak heran, kamuflase ini dibaca sebagian pihak sebagai pemaksaan kerja gaya baru.

Untuk mengembalikan kegunaannya sebagai kesempatan kerja, sejak 2018 upah PKTD wajib disampaikan harian atau selambatnya mingguan. Sayang, PKTD malah terbelit dilema menjaga kualitas infrastruktur atau penyerapan tenaga kerja. Ini bersumber dari asosiasi PKTD hanya boleh untuk membangun infrastruktur, yang dominan di desa ialah jalan beraspal, jembatan besi atau beton, tambatan perahu.

Infrastruktur itu membutuhkan alat berat sehingga menyusutkan upah pekerja sebatas 23-28 persen, dibandingkan bahan dan biaya alat yang menggerus 72-77 persen. Penjaga PKTD sekadar kewajiban dilakukan desa sendiri (swakelola), meski bahan modern pastilah dibeli dari luar desa, bahkan alat berat disewa dari kabupaten.

Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 15/2020 tanggal 27 Juli 2020 mengatasi kelemahan itu. Pertama, tanpa syarat keahlian untuk berperan serta dalam PKTD guna melebarkan pintu golongan miskin, penganggur tak terampil, dan golongan marjinal lainnya.

Kedua, upah dicairkan harian agar terhindar dari kamuflase pembalikan padat karya menjadi subsidi rakyat ke negara. Sekaligus, menjaga tingkat konsumsi di desa karena golongan miskin lazim langsung membelanjakannya untuk memenuhi pangan pokok sehari-hari. Ketiga, proporsi upah di atas 50 persen nilai kegiatan. Dibandingkan proporsinya saat ini 27 persen, regulasi ini bakal menyerap tenaga kerja dua kali lipat.

Ranah baru BUMDes

Pada akhir Juli 2020, persis sebelum SE 15/2020 berlaku, belanja dana desa untuk PKTD Rp 2.832.623.945.886. Upah terbayar Rp 762.224.492.064, atau proporsinya 27 persen dari nilai kegiatan. PKTD menyerap 1.626.560 pekerja, artinya kegiatan senilai Rp 3.482.963 rata-rata menyerap satu tenaga kerja. Warga bekerja 4-5 hari dengan perolehan upah rata-rata Rp 468.611. Desa lazim menjalankan PKTD 3-10 kali dalam setahun.

Dari ketersediaan dana desa saat ini, dikurangi kewajiban penyaluran bantuan langsung tunai dana desa sampai Desember 2020 akan tersisa dana untuk menjalankan PKTD Rp 36.415.952.963.207. Maka, bakal terserap minimal 20.910.905 tenaga kerja. Konsekuensi penting PKTD gaya baru adalah mengubah pembangunan infrastruktur jadi kegiatan usaha. Saat ini 83 persen padat karya berupa pendirian konstruksi, 9 persen membangun prasarana pertanian, 8 persen membangun instalasi limbah, dan lain-lain.

Mulai Agustus 2020, PKTD hanya masuk pada usaha lokal yang segera memberi hasil ekonomis. Contohnya, penanaman lahan kosong milik desa atau warga dengan tanaman pangan dan perkebunan semusim, membersihkan tempat wisata atau kuliner, dan pemeliharaan bangunan pasar. Juga, perdagangan logistik pangan, penyediaan talangan petani dan pengusaha kecil untuk berproduksi, bagi hasil perikanan dan peternakan, penyewaan gudang murah, dan sebagainya.

Pada titik inilah BUMDes harus masuk dan berperan aktif. Ini mustahil dikerjakan Tim ad hoc Pengelola Kegiatan (TPK) buatan pemerintah desa untuk mengurusi pembangunan infrastruktur, karena PKTD kini pada ranah usaha, bahkan sebagian mewujud dalam kerja sama usaha dengan warga desa, dengan pengelolaan bersama melintasi tahun anggaran.

Untuk itu, desa harus segera siapkan BUMDes untuk mencari PKTD usaha ekonomi, serta mengalihkan sisa dana desa jadi penyertaan modal BUMDes. Diperkirakan nilai investasi desa yang selama ini hanya 3 persen langsung melonjak ke 51 persen. Ini dua kali lipat prasyarat tinggal landas ala Rostow. Artinya, mesin akselerasi ekonomi desa membesar. Bisa tambah besar jika swasta dan BUMN yang melayani bidang pertanian, logistik, dan pasar turun menyemarakkan investasi dan usaha ekonomi desa.

Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.

Sumber: Kompas, 10 Agustus 2020

No comments:

Post a Comment