Monday, January 20, 2020

Iwan Gunawan, Menyulap Lahan Kritis Jadi Lahan Kedelai

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI---Kepala Desa Cibulan Iwan Gunawan saat diwawancarai, Selasa (12/1/2021) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Lahan bekas tambang galian C di Cibulan, Kabupaten Kuningan, Kecamatan Cidahu, Jawa Barat, kini hijau lagi. Iwan Gunawan bersama warga desa menyulapnya jadi lahan kedelai.

Sebagai negeri penggemar tempe, Indonesia masih menggantungkan kebutuhan kedelai dari luar negeri. Iwan Gunawan melihat peluang budidaya kedelai di desanya, Cibulan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Ia ubah lahan bekas tambang pasir menjadi lahan kedelai. Berbagai tantangan ia hadapi, termasuk ancaman pembunuhan.

Siang itu, Selasa (12/1/2021), Iwan baru saja  mengirim tempe ke sebuah rumah sakit di pusat kota Kuningan, sekitar 25 kilometer dari desanya di Kecamatan Cidahu. Tempe itu diproduksi  kelompok wanita tani di Cibulan dan kedelainya ditanam warga desa yang sama.

“Karena kami tanam kedelai semi organik, rumah sakit minta sampel tempenya. Orang sakit kan butuh makanan yang sehat-sehat. Kalau jadi, RS minta 100 potong tempe (ukuran 250 gram) per hari,” katanya diiringi senyum. Sebanyak 10 potong tempe juga ia kirim ke sebuah rumah makan.

Pekan lalu, Senin (4/1), Iwan bahkan diundang Kementerian Pertanian untuk menandatangani nota kesepahaman bersama Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia. Salah satu isinya, produsen siap menyerap kedelai petani Cibulan.

Ia diminta memasok sekitar 30 ton kedelai tahun ini. Meskipun volumenya terbilang kecil, upayanya itu diharapkan menekan kenaikan harga kedelai di dalam negeri yang kerap tersandera pasar global.

Uniknya, kedelai Cibulan tidak tumbuh di tanah subur, tetapi bekas galian C atau pasir. Sebelum 2018, Cibulan memang dikenal sebagai sentra galian C selama 18 tahun. Dari luas desa 687 hektar, 513 hektar di antaranya pernah jadi area tambang. Warga pun bergantung hidup dari usaha tambang.

Akan tetapi, sejak Iwan terpilih  sebagai kepala desa pada Oktober 2017, kegiatan tambang yang kian mendekati lingkungan, ia hentikan. Kebetulan masa eksploitasi sejumlah perusahaan tambang juga telah habis. Mereka pergi tanpa mereklamasi, meninggalkan tebing menganga.

Tidak sekadar melarang usaha pertambangan, Iwan juga memikirkan alternatif usaha lain bagi warganya. Ia melihat peluang budidaya kedelai di lahan bekas tambang. Komoditas ini dipilih karena Indonesia yang dikenal sebagai "negeri tempe” selama ini  bergantung pada kedelai impor. Sekitar 90 persen dari kebutuhan jutaan ton kedelai di negeri ini berasal dari luar negeri.

Ancaman

Rencana Iwan itu sempat dibalas cibiran sejumlah warga. Tebing bekas galian yang menganga dengan ketinggian hingga 30 meter bukanlah lahan subur. Kadar pH tanahnya berkisar 3,5-5,5, jauh dari ideal, yakni pH 6-6,5. Iwan dianggap membual.

Tidak hanya itu, sejumlah pengusaha tambang mencoba merayunya dengan mobil yang nilainya setara Rp 500 juta. Tujuannya, agar Cibulan kembali menjadi sentra galian pasir.

“Ada juga yang mengancam lewat SMS (pesan singkat) mau bunuh saya. Ada yang bilang, saya enggak akan kuat bertahan sampai selesai jabatan,” kata Iwan,  yang bakal menjabat kepala desa hingga 2023.

Akan tetapi, semua itu tidak ia pedulikan. “Lebih baik kehilangan PA (pendapatan asli desa) sekitar Rp 500 juta – Rp 700 juta per tahun dari galian C dari pada lingkungan kami rusak. Saya enggak mau mewariskan kerusakan ke anak dan cucu nanti,” tegas bapak dua anak ini.

Meskipun PAD Cibulan kini hanya berkisar Rp 30 juta dari penyewaan sawah milik desa, Iwan tetap bangga karena program kedelai berjalan. Petani tidak hanya menggarap lahan secara gratis, tetapi juga dibayar Rp 100.000 per 1.400 meter persegi. Petani juga mendapatkan benih, pupuk, dan pestisida gratis dari Kementerian Pertanian.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI---Kepala Desa Cibulan Iwan Gunawan (batik biru) bersama Bupati Kuningan Acep Purnama menanam kedelai di lahan bekas galian pasir di Desa Cibulan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis (21/2/2019). Pemerintah desa setempat menargetkan menanam kedelai seluas 200 hektar di bekas galian pasir tahun ini. Tahun lalu, Pemdes Cibulan telah menanam kedelai di lahan bekas galian C seluuas 75 hektar dengan produktivitas 1,2 ton per hektar.

Iwan bahkan mengajak sekitar 20 petani belajar ke Grobogan, Jawa Tengah, salah satu daerah penghasil kedelai. Terinspirasi dari sana, Iwan membangun sistem pengelolaan kedelai dari tanam hingga menjadi produk olahan, seperti tempe hingga dodol.

Petani tidak perlu pusing mencari penjual. Badan Usaha Milik Desa Cibulan siap membeli hasil panen petani dengan harga bagus, bisa Rp 8.000 per kg. Saat panen raya, harga kedelai di tingkat petani menyentuh Rp 6.000 per kg. “Kami masih terkendala modal untuk menyerap panen lebih banyak,” katanya.

Meskipun belum sempurna, perubahan itu nyata. Lahan kedelai yang awalnya 25 hektar kini mencapai lebih dari 100 hektar dengan produktivitas l,4 ton per hektar. Bahkan, tahun ini, pihaknya menargetkan 300 hektar lahan kedelai. Sekitar 200 petani ikut terlibat, termasuk mantan perantau yang sekarang memilih hidup di desa. Ada juga di antara mereka yang dulunya petambang pasir.

Tarpin (44), warga Cibulan, merasakan perubahan itu. Sebelum bersentuhan dengan kedelai, sekitar 10 tahun dia menjadi petambang. Dengan upah Rp 500.000 per hari, dia dan petambang lain bertaruh nyawa. Itu pun dia hanya bisa menambang seminggu sekali.

”Ada satu warga meninggal tertimbun. Sawah warga rusak kena longsoran galian,” katanya. Tidak jarang, warga berseteru terkait dengan dampak galian.

Kini, sebagai petani kedelai, ia tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga beserta empat anaknya. ”Kemarin, hasil panen bisa dipakai bayar sekolah anak Rp 3 juta,” ujar Ketua Gabungan Kelompok Tani Cinta Asih yang mengolah 4 hektar lahan dengan hasil lebih dari 1 ton kedelai per hektar itu.

Ia mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk biaya pengolahan lahan. Tidak ada biaya sewa lahan hingga pupuk. Jika hasil panen petani diolah menjadi tempe, tahu, kerupuk, hingga dodol kedelai, harga jual bisa berlipat ganda.

Apresiasi

Kegigihannya mengembangkan potensi lokal desa sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalamannya. Sejak kelas 2 SD, Iwan sudah ditinggal pergi kedua orangtuanya berdagang di Cililitan, Jakarta. Orangtuanya terpaksa merantau karena di desa hanya menjadi buruh tani.

Dari keringat orangtuanya, Iwan bisa kuliah di Administrasi Publik, Universitas Padjadjaran. Setelah lulus, ia sempat berdagang sayuran sambil mencari kerja di Ibu Kota. Pada 2007, ia diminta pulang kampung untuk mengurus Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Al-Misbah.

Gemar berorganisasi, ia juga masuk salah satu partai dan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kuningan dua kali, pada 2009 dan 2014. Namun, semuanya gagal dan lantas memilih fokus mengurus PKBM yang memiliki murid 286 orang.

Hingga pada 2017, sejumlah warga memintanya menjadi kepala desa. Ia terpilih dan mengalahkan petahana dan seorang aparat desa. Salah satu janjinya adalah menghentikan tambang pasir dan menjadikannya lahan produktif.

Kini, Cibulan mulai dikenal sebagai sentra kedelai. Pemerintah daerah, perbankan, hingga pejabat Kantor Staf Presiden datang ke sana. Bahkan, pihaknya tengah menyiapkan Agro Edukasi Wisata Kedelai. Nantinya pengunjung dapat melihat langsung cara menanam kedelai di lahan eks galian pasir hingga menikmati produk olahannya.

Iwan pun diganjar aneka penghargaan, seperti Anugerah Prakarsa Jabar 2018 yang diberikan oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Ia juga mengantarkan Cibulan sebagai juara 1 perlombaan desa tingkat kuningan dan tingkat Jabar 2019.

Kegigihan Iwan dibantu keyakinan warga desa memberi bukti keraguan bisa dilawan dengan kerja keras. Harapan lahan yang rusak akibat tambang dapat memberi kesejahteraan baru jelas bukan mimpi.

Iwan Gunawan

Lahir: Kuningan, 30 Juni 1981

Istri: Dian Mardiana

Anak:

Muhammad Rifki Naoval majid

Singgih Wisnu Pradana

Pekerjaan:

Kepala Desa Cibulan

Ketua PKBM Al-Misbah

Oleh   ABDULLAH FIKRI ASHRI

Editor:    CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Sumber: Kompas, 18 Januari 2021

No comments:

Post a Comment