Sunday, October 13, 2019

Memuliakan Masa Depan Petani

Sadar pentingnya regenerasi dan kemandirian pemuliaan padi, Pemerintah Desa Nunuk di Kecamatan Lelea dan Desa Kalensari di Kecamatan Widasari memanfaatkan dana desa untuk melatih petani muda.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI--Runatin (40) dan Tarsono (33) menunjukkan rumpun padi dua benih lokal yang tengah disilangkan, Rabu (21/8/2019), di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Kedua petani itu menyilangkan varietas Ciherang dan Leci.

Runatin (40) panik saat sembilan benih padi yang ia kawin silangkan hilang diterpa angin. Dia cemas karena yakin persilangan itu bisa menjadi benteng lain untuk menjaga kesejahteraan petani di masa depan. ”Gawat,” ucap petani itu sambil menjelajahi setiap sudut di depan rumahnya di Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Rabu (21/8/2019). Ia seperti mencari anaknya yang hilang.


Untung, sembilan benih padi itu ditemukan selamat di samping rumah, dekat kandang anak ayam. Bagi orang awam, perilaku Runatin mungkin terlihat berlebihan. Namun, bagi bapak dua anak itu, sembilan benih itu merupakan masa depan. Bentuknya menyerupai beras dengan ujung melengkung yang keluar dari kulit gabah. Benih itu hasil persilangan satu malai varietas Ciherang dan Leci (varietas lokal).

Proses penyilangan dilakukan di dalam pot dan jauh dari sawah. Tujuannya, agar serbuk padi lain tak terbawa angin dan membuahi putik yang sedang terbuka. Cara penyilangannya pun harus teliti dengan alat sederhana, seperti tusuk gigi, gunting, dan kaca pembesar.

Benih yang baru dipanen 19 Agustus lalu, dua hari setelah peringatan Hari Kemerdekaan RI, itu merupakan upayanya merdeka memilih benih. Selama ini, petani menerima bantuan benih gratis dari pemerintah. Namun, bukan cerita baru bahwa benih tersebut tidak sesuai kebutuhan petani.

”Tanam rendeng (pertama) awal tahun ini, misalnya, kami mendapatkan varietas Ciherang. Namun, kelemahannya, padi ini mudah rebah dan rusak terendam air. Padahal, saat itu musim hujan dan angin kencang,” katanya.

Sumber benih lain ada di toko pertanian. Harganya beragam, mulai dari Rp 16.000 per kilogram hingga lebih dari Rp 20.000 per kg. Untuk 1 hektar lahan dibutuhkan 25 kg benih atau Rp 400.000-Rp 500.000. Bagi Runatin yang menyewa sawah 7.000 meter persegi agar dapat menggarap 1 hektar lahan, itu harga yang mahal. Sebab, ia harus menyisihkan 30 kuintal gabah kering giling untuk biaya sewa lahan, bagaimanapun hasil panennya.

Dengan menyilangkan Ciherang dan Leci yang batangnya kuat, diharapkan muncul varietas unggul. Benih itu membawa sifat kedua varietas, seperti tahan hama penyakit dan tidak mudah rebah. Namun, masih diperlukan delapan musim tanam atau empat tahun untuk menyeleksi ratusan bulir gabah hasil persilangan tersebut.

Pengetahuan tentang persilangan benih itu datang setelah Pemerintah Desa Nunuk menggelar pelatihan pemulia padi sejak Juli. Sebanyak 25 petani usia 40 tahun ke bawah yang tergabung dalam Kelompok Petani Pemulia Padi Nunuk dibekali pengetahuan pertanian organik dan cara mengendalikan hama penyakit.

”Ini ilmu tingkat tinggi. Kalau enggak diteruskan generasi muda, ilmunya bisa hilang,” katanya sambil menyebut nama pemulia padi asal Indramayu, seperti Darmin (59), Warsiyah (73), dan almarhum Mbah Karsinah (88) yang berpulang beberapa bulan lalu.

Regenerasi
Kepala Desa Nunuk Mashadi (34) mengatakan, program pelatihan itu merupakan bagian dari upaya melakukan regenerasi petani. Apalagi, 90 persen dari sekitar 4.000 warganya bekerja di sektor pertanian.

”Kami mendorong anak muda bertani, bahkan menjadi pemulia padi. Selama ini, setelah lulus SMA, warga kebanyakan ingin kerja di pabrik, tidak mau nyawah karena belok (kotor kena lumpur),” katanya. Di Desa Nunuk ada sekitar 400 hektar sawah. Sayangnya, sebagian besar petani berusia di atas 50 tahun. Padahal, padi asal Nunuk terkenal.

”Harga gabah di sini biasanya lebih mahal dibandingkan desa lain. Alasannya, rendemennya tinggi. Sebagai contoh, kalau di desa lain 1 kuintal gabah menghasilkan 65 kg beras, di sini sampai 70 kg beras,” kata Mashadi yang memilih mengolah 7 hektar sawahnya setelah lulus dari Universitas Padjadjaran.

Demi menjaga pertanian tidak gulung tikar, tahun ini, Mashadi menganggarkan sekitar Rp 38 juta untuk pelatihan pemulia padi, pembuatan pupuk kompos, hingga sewa lahan percontohan. Lahan seluas hingga 2.800 meter persegi itu menurut rencana menjadi tempat kelompok pemulia padi mengembangkan benih unggul. ”Saya akan usulkan peraturan desa tentang regenerasi petani, khususnya pemulia padi. Jadi, kalau saya enggak lanjut jadi kuwu (kepala desa), anggarannya tetap ada,” katanya.

Sebelum Nunuk, Desa Kalensari di Kecamatan Widasari, Indramayu, lebih dulu memanfaatkan dana desa untuk memotivasi pemuda jadi pemulia padi. ”Kami anggarkan sekitar Rp 8 juta untuk pelatihan pemulia padi sejak 2016. Tiap tahun pesertanya 25 petani,” ujar Kuwu Kalensari H Masroni. Pemerintah desa juga mengalokasikan sedikitnya Rp 10 juta untuk pelaksanaan Festival Padi, April lalu. Bahkan, lahan desa seluas 9,5 hektar dijadikan tempat penanaman 90 varietas berbeda hasil persilangan petani dari berbagai penjuru Nusantara.

Dalam kegiatan yang baru pertama kali digelar itu, Pemdes Kalensari bekerja sama dengan Asosiasi Bank Benih dan Tani Indonesia (AB2TI) serta sejumlah instansi. ”Kami ingin memotivasi para pemulia padi agar terus berkarya dan bisa diteruskan oleh petani muda,” ujar Masroni, yang juga menjabat sebagai Koordinator AB2TI Jabar.

Ia pun berharap, petani setempat yang banyak bertani di Tangerang karena harga sewanya lebih murah bisa pulang kembali ke desa. Keberpihakan pemdes terhadap pertanian akan membawa desa mandiri pangan di masa depan. Jika mampu menghasilkan benih dan pupuk sendiri, misalnya, petani tidak lagi bergantung pada produk pabrikan yang bisa membebani ongkos produksi.--MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sumber: Kompas, 14 Oktober 2019

No comments:

Post a Comment