Friday, October 25, 2019

Desa Setengah Jalan

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI--Suasana Kampoeng Mataraman, salah satu unit usaha BUMDes milik Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, awal September 2019. Desa Panggungharjo kini menjadi salah satu desa terbaik di tingkat nasional dan merupakan percontohan bagi 74.000-an desa di Indonesia.

Pembangunan desa telah menghasilkan ratusan ribu kilometer jalan desa, ribuan badan usaha milik desa (BUMDes), dan menghasilkan miliaran rupiah pendapatan asli desa setiap tahun. Ditambah alokasi dana desa yang besarannya terus bertambah setiap tahun, sampaikah desa ke tujuan?


Lima tahun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa masih saja berkutat pada pembangunan fisik. Pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) desa, belum tergarap.

Belum tergarapnya pemberdayaan masyarakat menyebabkan desa menerjemahkan pembangunan sebagai membangun infrastruktur. Pada buku ”Manfaat Dana Desa di Provinsi Jawa Timur” terbitan Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), tergambar bahwa pada 2015, sebesar 83,89 persen dana desa di Jatim digunakan untuk pembangunan fisik. Alokasi untuk pemberdayaan masyarakat sebesar 6,48 persen.

Pada 2018, penggunaan dana desa untuk pembangunan fisik masih 76 persen, sedangkan pemberdayaan masyarakat sebesar 12 persen. Kondisi itu juga terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (UGM), Bambang Hudayana, Sabtu (7/9/2019), efek pembangunan fisik tidaklah selalu bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Bahkan, cenderung menguntungkan pihak yang secara ekonomi kuat.

Sebagai contoh, pengaspalan jalan akan membuat jalan desa lebih baik sehingga sawah di sekitarnya dibeli investor. Artinya, pembangunan jalan justru bisa meminggirkan masyarakat kecil. ”Sehingga, kalau tidak ada pemberdayaan, SDM- nya tidak dibangun, masyarakat desa akan terus terpinggirkan,” kata dia.

Tidak terbangunnya SDM desa menjadikan masyarakat terus terombang-ambing keadaan, tanpa bisa keluar sebagai pemenang. Pada Juli 2019, misalnya, ratusan desa di Kabupaten Malang, menggelar pemilihan kepala desa (kades) serentak, yang sebagian melahirkan kades baru. Politik lokal itu berdampak pada keberadaan BUMDes. Di Desa Ketawang, Kecamatan Gondanglegi, pergantian kades membuat direktur BUMDes berniat mundur sehingga BUMDes terancam gulung tikar.

Di tempat berbeda, yakni di Malang bagian timur, hal menggelitik juga ditemukan. Di sana, BUMDes memang dibentuk dengan musyawarah desa (musdes). Namun, peserta musdes hanya 10 orang dari ribuan warga. Lebih mengejutkan, anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) BUMDes tidak dibuat pengurus, tetapi dibuatkan pegawai pemerintah kabupaten. Akibatnya, saat ini untuk membuat RAB (rencana anggaran biaya) kegiatan saja, pengurus BUMDes tidak bisa.

Kasus BUMDes lain juga bermunculan se-Indonesia. Beberapa waktu lalu terjadi sengketa hukum BUMDes di Ponggok, Klaten, terkait aset dan penggunaan dana BUMDes. Terakhir, kasus penahanan keuchik atau kepala desa di Aceh terkait inovasi BUMDes mengembangkan benih padi IF8.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) mencatat, jumlah BUMDes di Tanah Air mencapai 45.850 BUMDes. Dari jumlah tersebut, hingga Maret 2019, hanya aktif 36.000 BUMDes.

Anekdot BUMDes
Sutoro Eko Yunanto, salah satu penggagas UU Desa, menganalogikan BUMDes bak istana pasir. Indah, tetapi rapuh dan mudah rusak atau hilang. Hal itu karena BUMDes dibangun saat masyarakat dan sistem berdesanya belum siap. Sistem berdesa dimulai dari pelembagaan kewenangan, perencanaan, keuangan dan penganggaran, hingga pelayanan masyarakat.

Jika tradisi berdesa saja belum tuntas, lalu buru-buru membentuk BUMDes, menurut Sutoro, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD Yogyakarta itu, akan muncul banyak masalah. ”Bisa untuk modus pencucian uang atau hanya menghasilkan BUMDes pedati (perintah dari bupati), merpati (merapat ke bupati), dan melati (menjadi ladang upeti),” katanya.

UU Desa lahir untuk memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan. UU bukan saja mengamanatkan pembangunan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Itu berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dinilai mengerdilkan peran desa. Saat ini, jumlah desa di Indonesia ada 74.957 desa.

Dari sisi peraturan, UU Desa diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa. Pada Pasal 126-131, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan pembangunan melalui musyawarah desa, menguatkan lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat, meningkatkan kualitas dan kapasitas SDM desa, serta mendampingi masyarakat secara berkelanjutan.

Namun, kementerian dinilai kurang menggarap sisi pemberdayaan masyarakatnya. Kemendes PDT tidak membuat peraturan menteri tentang pemberdayaan masyarakat desa sebagai tidak lanjut untuk operasionalisasi ke bawah.

Periode 2015-2019, produk hukum Kemendes PDT yang terekam dalam Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kemendes PDT (JDIH Kemendesa) menunjukkan, telah dibuat 161 aturan hukum tentang desa. Mulai peraturan menteri desa (permendes), keputusan menteri, dan nota kesepahaman (MOU). Namun, saat ditelususi dengan kata kunci ”pemberdayaan masyarakat” hanya muncul 2 permendes dan 3 MOU.

Dua permendes tersebut tentang petunjuk pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan masyarakat, serta pelimpahan urusan pemerintahan lingkup Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendes PDT pada 2016.

Adapun tiga MOU, yaitu MOU dengan LSM untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dan perempuan (2018) dengan perusahaan e-commerce untuk mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis digital (2018), serta dengan TNI terkait bantuan TNI dalam pengembangan desa (2017). Dua MOU pertama ditandatangani Sekjen Kemendes PDT Anwar Sanusi, sedangkan MOU ketiga ditandatangani Menteri Desa PDT Eko Putro Sandjojo dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Permendes terdekat dengan kebutuhan masyarakat adalah tentang musyawarah desa dan pendampingan desa. Sisanya, hampir 80 persen, peraturan terkait birokrasi Kemendes PDT sendiri. Kondisi itu diperparah dengan ketidakkonsistenan kebijakan antar-kementerian. Nomenklatur pemberdayaan masyarakat versi Kemendes PDT (Sistem Informasi Pembangunan Desa/Sipede) akan berbeda dengan versi Kemendagri (Sistem Keuangan Desa/Siskeudes). Hal itu tentu membingungkan.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan, semula pembangunan infrastruktur diprioritaskan karena masih banyak desa butuh infrastruktur. ”Namun, seiring waktu, saya rasa lima tahun ke depan desa bisa menggeser pembangunan ke sumber daya manusia sebagaimana diharapkan presiden,” katanya.

Seperti dikumandangkan sejak menjabat, Presiden Joko Widodo bertekad membangun Indonesia dari pinggiran, salah satunya dengan memperkuat daerah dan desa. Fokus pembangunan ke depan adalah SDM. SDM unggul, Indonesia maju. Seiring waktu dan pendanaan desa yang terus naik, fisik desa sudah mulai tertata. Saatnya membangun manusianya, mendorong masyarakat menjadi subyek pembangunan. Capaian desa, tampaknya masih setengah jalan….--DAHLIA IRAWATI

Sumber: Kompas,  25 Oktober 2019

1 comment:

  1. The best 777 Casino - MapyRO
    777 Casino. 통영 출장안마 777 Casino. 777 Casino. 777 Casino. 777 Casino. 777 Casino. 777 Casino. 777 Casino. 안동 출장마사지 777 Casino. 세종특별자치 출장샵 777 Casino. 777 Casino. 의정부 출장마사지 777 Casino. 제주도 출장샵 777

    ReplyDelete