Berkeluarga tanpa dilengkapi dengan dokumen kependudukan resmi menghambat anak-cucu terakses ke sistem layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. ”Jemput Bola” menjadi solusi jitu.
Matahari baru saja terbenam. Jalan raya di Desa Kolbano, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Rabu (6/6/2018) terlihat sepi. Di sebuah gereja yang tak jauh dari pantai Kolbano yang terkenal dengan keindahan pasir putih dan bebatuan yang berwarna-warni, sebanyak dua puluh pasangan suami istri mengikuti sidang pencatatan perkawinan.
Sidang pencatatan perkawinan dipimpin langsung Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Meryana ME Tse. Pesertanya adalah pasangan suami istri yang sudah hidup bersama bertahun-tahun hingga memiliki anak bahkan mempunyai cucu, tetapi belum mengantongi akta perkawinan. Sebagian sudah menikah secara adat, tetapi belum menikah secara agama dan mencatatkan perkawinan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR--Sejumlah anak-anak di Desa Tesi Ayofanu, Kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan (TTS), menghadiri pertemuan sosialisasi akta kelahiran, Selasa (5/6/2018). Yayasan Plan International Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT dan Yayasan Sanggar Suara Perempuan (YSSP) melakukan program pencatatan data kelahiran (akta kelahiran) bagi anak-anak di Kabupaten TTS dan Timor Tengah Utara (TTU). Selama ini pemahaman masyarakat setempat akan kepemilikan dokumen kependudukan masih minim.
Mereka akhirnya mau melaksanakan perkawinan di lembaga pencatatan catatan sipil- yang dikenal masyarakat sejak jaman pemerintah Hindia Belanda dengan istilah BS (burgerlijke stand). Salah satu alasan mereka mencatatkan perkawinannya yakni memberikan identitas hukum bagi anak-anak mereka, demi kejelasan status kependudukan anak-anaknya sehingga bisa mengakses pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya.
Demi status anak, alasan itu pula yang mendorong Hendrik Kusnion (58) dan Wilmintje Taopan (50) mengikuti sidang pencatatan perkawinan tersebut. Pasangan ini telah berkeluarga sejak 27 tahun lalu, dan memiliki lima anak dan dua cucu. Dua anak yang berumur 26 tahun dan 24 tahun sudah menikah, masing-masing mempunyai satu anak. Sedangkan tiga anak lainnya belum menikah, bahkan yang bungsu masih berusia delapan tahun.
Semua anak-anak dan cucu tidak memiliki akta kelahiran dan dokumen kependudukan lainnya. Anak yang bersekolah, paling tinggi sekolah menengah atas. Mereka bisa masuk sekolah karena ada surat baptis dari gereja. Hendrik dan Wilmince mengaku baru menikah adat dan gereja pada tahun 2016. “Saya menyesal terlambat mengurus perkawinan. Saya melakukan ini demi menyelamatkan anak-anak dan cucu saya,” ujar Hendrik .
Padahal, berada dalam status perkawinan yang tidak sah, yakni tidak tercatat oleh negara, membuat orangtua maupun anak-anak tidak bisa mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara secara utuh. Karena, tanpa adanya akta perkawinan (surat nikah) dari Dispendukcapil, mereka tidak bisa mengurus kartu keluarga (KK), akta kelahiran, kartu tanda penduduk (KTP), dan dokumen kependudukan lainnya. Saat ini semua dokumen kependudukan dilakukan secara sistem melalui perekaman Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Di luar itu, tanpa identitas hukum, meski sebagai WNI mereka juga kesulitan mengakses layanan sosial, terutama akses pendidikan dan kesehatan yang menjadi program pemerintah. Contohnya, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat, Program Keluarga Harapan (PKH), Program Makanan Tambahan (PMT), termasuk memiliki kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Karena untuk mendapatkan layanan sosial ini ada validasi penduduk, tanpa mengantongi identitas mereka pasti akan terlewatkan.
Dari sisi politik. Selama tidak memiliki NIK dan tidak punya KTP dan KK, juga tidak bisa mengikuti agenda politik dalam negeri seperti pemilihan umum dan penggunaan berbagai hak politik lainnya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR--Suasana pelayanan administrasi kependudukan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, yang dipenuhi masyarakat, Selasa (5/6/2018). Hingga kini kepemilikan dokumen kependudukan seperti akta kelahiran di TTS masih sangat rendah.
Pro aktif “Jemput bola”
Kegiatan pencatatan perkawinan di Desa Kolbano merupakan bagian dari program pencatatan data kelahiran (akta kelahiran) bagi anak-anak di Kabupaten TTS dengan sistem layanan keliling “Jemput Bola” (Jebol) yang dilaksanakan Dispendukcapil Pemkab TTS. Kegiatan pencatatan merupakan kolaborasi dengan Plan International Indonesia dan Yayasan Sanggar Suara Perempuan (YSSP). Dalam kegiatan di lapangan YSSP mengandeng Komite Perlindungan Anak Desa (KPAD).
Tugas tim Plan, YSSP, KPAD adalah mengedukasi pentingnya akta kelahiran dan dokumen kependudukan lain. Tak hanya pemerintah desa, mereka juga mendekati pemimpin gereja mendorong umatnya mengurus status perkawinan, agar bisa mengurus akta lahir anak-anak mereka.
“Di desa-desa KPAD menyebarkan informasi tentang pentingnya akta kelahiran dan dokumen kependudukan. Mereka mengumpulkan data, siapa-siapa yang belum mempunyai dokumen akta kelahiran, dan melakukan kerjasama dengan pihak gereja agar setiap ibadah diumumkan dalam warta jemaat,” ujar Filpin Therik (51) Wakil Direktur YSSP dan juga Koordinator Program untuk Pelayanan Akta Kelahiran di TTS.
Pelayanan maraton
Dalam program Jebol masyarakat di desa-desa yang belum memiliki akta kelahiran dan dokumen kependudukan disiapkan oleh pemerintah desa dibantu KPAD. Setelah siap, maka tim Dispendukcapil akan turun ke desa. Seperti yang dilakukan di Kolbano, selama dua hari berturut-turut (6-7 Juni 2018), selain pencatatan perkawinan, tim yang dipimpin Meriyana melayani pembuatan akta kelahiran dan administrasi kependudukan lain bagi warga desa setempat secara maraton. Mulai dari Rabu siang hingga Kamis (7/6/2018) dini hari. Tim hanya istirahat sebentar, pagi hari hingga sore pelayanan dilanjutkan sampai selesai.
Antusiasme warga pun sangat tinggi. Selama dua hari, kantor desa hingga halaman dipenuhi ratusan warga yang antri mengurus akta kelahiran dan dokumen kependudukan, termasuk mengurus NIK. “Kami membawa semua peralatan yang ada di kantor dinas ke desa Kolbano. Selama dua hari kami bisa melayani pencatatan perkawinan untuk 53 pasangan dan melayani sekitar 200 akta kelahiran,” ujar Meryana.
Pada 2017, dari 20.573 jiwa total penduduk Kecamatan Kolbano, yang memiliki akta kelahiran baru 20.573 orang (23,4 persen). Dari 8.428 penduduk yang berstatus kawin, hanya 14,16 persen yang memiliki akta perkawinan. Kolbano merupakan desa pesisir selatan Pulau Timor, Kabupaten TTS. Letaknya berjarak sekitar 90 kilometer dari Kota Soe, ibukota kabupaten TTS dan sekitar 140 kilometer dari Kupang (ibukota provinsi NTT).
Dari data Profil Perkembangan Kependudukan Kabupaten TTS Tahun 2017, menunjukkan persentase kepemilikan akta kelahiran di TTS berdasarkan versi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) tahun 2016 sangat rendah. Di tingkat kabupaten, dari jumlah penduduk 475.373 jiwa di TTS hanya 93.729 jiwa atau 19,72 persen yang memiliki akta kelahiran berbasis SIAK. Ada beberapa kecamatan persentase kepemilikan akta lahir di bawah 10 persen seperti di Kecamatan Amanatun Utara, Toianas, dan Kualin.
Program Jebol digalakkan sejak tiga tahun terakhir oleh Pemkab TTS dengan cara mendatangi langsung desa-desa dan melakukan pelayanan administrasi kependudukan di desa tersebut. Tiap tahun ditargetkan Jebol masuk ke 60 desa.
Kepala Dinas Dukcapil TTS Semuel LI Fallo mengungapkan pelayanan Jebol yang digencarkan sejak tahun 2016 berdampak besar bagi kepemilikan dokumen kependudukan masyarakat di TTS, terutama akta kelahiran. Bahkan jumlah penduduk yang memiliki akta lahir terus meningkat, dan pelayanan akta kelahiran melampaui jumlah yang ditargetkan pemkab TTS.
“Targetnya tiap tahun 10.000 akta kelahiran, tetapi kenyataannya pada tahun 2016 pelayanan mencapai 13.000 akta kelahiran. Begitu juga tahun 2017 juga dilayani 15.000 akta kelahiran. Tahun 2018 ini kami juga menargetkan 10.000 akta kelahiran di 60 desa,” tambah Meryana.
Sejak awal 2018, jumlah penduduk yang datang mengurus akta kelahiran semakin meningkat. Jumlah pegawai di Dispendukcapil yang hanya 51 orang tidak seimbang dengan pemohon layanan. Bahkan, pada Selasa (5/6/2018), saat Kompas dan sejumlah media dan Tim Plan International Indonesia mendatangi Kantor Dispendukcapil TTS, ratusan orang mengantre mulai dari halaman kantor hingga gedung dinas tersebut.
Saking banyaknya berkas dan dokumen yang harus ditandatangani Kadis Dukcapil sampai-sampai jari Semuel sering terluka dan terpaksa mengunakan plester. “Sudah enggak terhitung berapa banyak pulpen yang telah habis untuk tandatangan,” ujar Semuel seraya menunjukan tumpukan pulpen di mejanya.
Program Jebol selama dua tahun terakhir, setidaknya berhasil membangkitkan pemahaman masyarakat akan pentingnya akta kelahiran bagi anak-anaknya. Pada saat penyerahan akta kelahiran di Kota Soe, Rabu (5/6/2018), beberapa anak menyampaikan testimoni betapa bahagianya mereka memiliki akta lahir saat ini.
Mencegah perkawinan anak dan perdagangan orang
Selain rendahnya kepemilikan akta kelahiran, faktor lain yang mendorong Plan International Indonesia menfasilitasi program pencatatan data kelahiran di NTT yakni praktik perkawinan anak di provinsi tersebut masih sangat tinggi yakni 20,5 persen dalam kurun waktu 2008-2012.
Di wilayah NTT yang juga masuk wilayah kerjanya, selain akta kelahiran Plan International Indonesia juga memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka, di antaranya akses air bersih, imunisasi dasar lengkap, serta akses pendidikan seperti PAUD dan pendidikan dasar.
Menurut Hari Sadewo, National Project Manager Mekanisme Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat, Plan International Indonesia, ketiadaan akta kelahiran jelas menghambat dan menutup hak anak untuk mendapat layanan-layanan tersebut.
“Di TTU dan TTS situasinya makin buruk karena sebagian besar wilayah keduanya terpencil dan sulit dijangkau oleh layanan itu sendiri. Ditambah pula budaya dan tradisi pencatatan status pernikahan yang dilakukan dengan proses agama atau adat saja.”
Oleh karena itu, pendekatan lokal berbasis masyarakat dengan upaya edukasi kepada masyarakat dan kaum muda mengenai pengetahuan kependudukan dan masalah legal lainnya, sangat penting.--SONYA HELLEN SINOMBOR
Sumber: Kompas, 1 Juli 2018
No comments:
Post a Comment